Selasa, 10 Juni 2014

Menghargai Perasaan Orang Lain


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..





       Belakangan ini, saya banyak menemukan orang-orang yang suka berbicara asal. Kata-kata yang mereka lontarkan seringkali tidak mereka pikirkan terlebih dahulu. Karena tidak pandainya memilih kata dan kalimat yang baik sehingga yang keluar adalah kalimat yang menyakitkan sehingga membuat orang tersinggung.


       Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas topik akan pentingnya menjaga perasaan orang lain. Mungkin sebagian orang seringkali merasa sakit hati akan perkataan-perkataan yang menyebalkan. Dan sebagian orang lagi memilih untuk bersikap acuh. Tetapi, alangkah baiknya apabila kita menjadi orang yang baik dan memikirkan perasaan orang lain terlebih dahulu.




MENGAPA PERLU MEMBIASAKAN DIRI UNTUK MENGHARGAI PERASAAN ORANG LAIN?


       Setiap hari kita bertemu dan berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai kekurangan dan keterbatasan. Baik mereka yang memiliki keterbatasan secara fisik, memiliki status sosial yang rendah, atau kekurangan2 yang lain seperti merasa kurang cantik, kurang pintar, kurang menonjol, dan bermacam-macam orang dengan berbagai karakter. Pada saat itulah kita perlu belajar bagaimana kita menghargai perasaan orang lain dam membuatnya merasa nyaman dengan segala keterbatasan, kekurangan, dan keberadaannya tersebut.




       Menghargai perasaan orang lain mungkin hal yang sederhana tapi bisa mengakibatkan hal yang sangat positif bagi orang yang menerimanya. Apabila kita tidak membiasakan diri untuk menghargai perasaan orang lain, kemungkinan besar akhlak yang kita lakukan akan terbalas di kemudian hari. Sebagaimana contoh dari kehidupan sehari-hari perilaku yang kurang menghargai perasaan orang lain yaitu tertawa bila teman kita merasa kesusahan, ataupun kasus-kasus bullying di kalangan-kalangan tertentu. Coba renungkan, tahukah kalian jika orang yang kelihatannya begitu tegar hatinya sebenarnya merupakan orang yang sangat lemah dan sangat membutuhkan pertolongan? Tahukah kalian jika orang yang menghabiskan waktunya untuk melindungi orang lain justru adalah orang yang sangat butuh seseorang untuk melindunginya?

       Sebagaimana kita tahu dalam Al-Quran,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS: Al-Zalzalah 7-8).

       Yang berarti apapun yang kita lakukan, pasti akan balasannya akan sesuai perlakuan kita. Seringkali kita tertawa tanpa mengetahui bagaimana perasaan orang yang sedang kita tertawakan. Jika dianalogikan, kita yang sedang tertawa merupakan golongan orang yang berada di atas. Sedangkan orang yang kita tertawakan merupakan golongan orang yang berada di bawah. Saya menganalogikan seperti ini karena orang yang berada di atas tidak selalu 'di atas' secara materi, tetapi juga kadar perasaan yang sedang dirasakannya. Begitu juga analogi tentang perasaan orang yang ditertawakan, berada di bawah sesuai dengan kondisi perasaan yang sedang dirasakannya.

       Sekarang seperti ini, hubungan 'analogi yang saya berikan' dengan 'setiap perbuatan kita lakukan akan mendapat balasan' adalah apabila sekarang kita sedang 'di atas' tanpa memikirkan perasaan-perasaan orang yang berada 'di bawah', maka kita termasuk golongan orang-orang yang egois. Sebagian orang menyadari bahwa setiap orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Sementara sebagian orang lainnya tidak menyadari bahwa setiap orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri.

       Orang yang menyadari bahwa setiap orang memiliki jalan kehidupannya sendiri akan terbiasa menyebarkan naluri penalaran akan perasaan orang-orang di sekitarnya dan belajar untuk menghargainya. Berbeda dengan orang yang tidak mau tahu, orang itu akan tumbuh sebagai orang-orang yang selalu menyesal. Karena tidak membiasakan diri untuk sesekali merasakan apabila mereka sedang 'di bawah'. Padahal kita tahu bahwa orang yang sekarang 'di atas' tidaklah selalu di atas, kemungkinan besar suatu saat Tuhan merubah takdir mereka menjadi orang yang 'di bawah'. Dengan kata lain, orang yang sekarang tertawa pasti suatu saat akan ditertawakan. Apabila mereka tertawa tanpa belajar bagaimana rasanya menjadi orang yang ditertawakan, maka kedepannya apabila suatu saat mereka ditertawakan, mereka akan sulit dan tak terbiasa merasakan bagaimana rasanya ditertawakan.




       Menjaga perasaan orang lain adalah seni tersendiri yang harus dipuyai dalam menikmati kehidupan ini. Tidak bisa dipungkiri dalam proses interaksi kita dengan orang lain termungkinkan terdapat hal-hal yang tiada kita sukai. Jangan sampai kita terpedaya oleh godaan nafsu yang cenderung menginginkan kita mengambil sikap balas menyakiti. Kita dianjurkan bersabar, menjaga lisan, dan menampilkan akhlak mulia.

Rasulullah bersabada,

“Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya, dan laglagnya, niscaya ia akan terjaga dari kejahatan seluruhnya.”(HR. Ad Dailami).


Yang dimaksud qabqab adalah perut, Dzaabdzab adalah kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.

       Maka tampaknya adalah menjadi wajib bagi siapapun yang ingin membersihkan hatinya, mengangkat derajatnya dalam pandangan Allah Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan terhindar dari bala bencana, untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya. Aktivitas berbicara bukanlah perkara panjang atau pendeknya, tapi berbicara adalah perkara yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.





LALU, BAGAIMANA CARA KITA MENGHARGAI PERASAAN ORANG LAIN?


       Dalam ukhuwah islamiyah kita diajarkan untuk saling menjaga perasaan. Adapun kiat untuk menjaga perasaan orang lain dalam pergaulan itu diantaranya adalah:

1. Adamus Sukriyah (Tidak Mengolok-olok)

       Menghargai orang lain berarti tidak merendahkan derajatnya di depan umum. Menghina atau mengejek orang lain dapat membuat ia sakit hati. Hindari menggunakan kata-kata yang menyakiti perasaan orang lain.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS: Al-Hujurat:11)


 2. Husnudzon (Berbaik Sangka)

       Menjadi orang yang berbaik sangka adalah salah satu sikap untuk memelihara ukhuwah, bila sikap buruk sangka yang tertanam dalam hati maka akan mencurigai sesama.

Sebagaimana tertulis dalam firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangkaan itu dosa.” (QS: Al-Hujurat 49:12)


 3. Adamut Tajasus (Tidak Mencari Kesalahan)

       Kita punya lima jari pada tangan, dikala kita menunjuk orang dengan satu telunjuk maka empat jari berikutnya menunjuk diri kita sendiri, demikian sebuah ungkapan yang disampaikan agar kita tidak mudah menunjuk kesalahan orang lain.


4. Ijtinalul Ghibah (Meninggalkan Gunjingan)

       Apa yang dikatakan seseorang tentang orang lain tanpa bukti merupakan menggunjing. Alangkah baiknya kita menghindari sesuatu yang menjebak kita. Menjebak kita dalam lingkaran hitam. Janganlah kita terperangkap untuk menilai orang lain negatif tanpa satupun bukti nyata. Ingatlah keburukan diri sendiri dan berintrospeksilah sebelum mengemukakan kejelekan orang lain.


5. Bersikap Ramah dan Adil

       Bersikaplah ramah&adil pada semua orang tanpa terkecuali. Tanpa mendeskriminasi asal, karakter, latar belakang, dll. Ingat, negara kita bersemboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' berbeda-beda tetapi tetap satu jua.


6. Jangan Memaksa Orang Lain

       Menghargai orang lain adalah menghormati hak asasinya. Hindari memaksa atau melakukan intimidasi terhadap orang lain agar melakukan sesuatu yang diluar wewenang Anda.


7. Sensitif Terhadap Perasaan Orang Lain

       Adakalanya pembicaraan atau perbuatan anda dapat menyinggung perasaan orang lain meskipun anda tidak bermaksud demikian. Berlaku sensitif terhadap perasan orang lain menghindarkan anda untuk membicarakan atau berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain.





       Dari situ, Anda dapat pelajaran tentang pentingnya mengahargai, menghormati orang lain meski dia memiliki kekurangan. Bukankah bila kita menghormati orang lain niscaya kita juga akan dihormati juga? Lagipula tak ada ruginya bila kita menebarkan sedikit kebaikan dengan cara menghargai, menghormati persaan orang lain, agar tak ada benih benih kebencian di benak dan lingkungan tempat tinggal kita. 


Testimoni:
 
v  “Alasanku buat menjaga perasaan orang lain itu cuma ga mau cari masalah. Lebih baik diam dan ga ikut campur masalah orang lain. Toh kita juga gatau kan masalah orang lain itu seperti apa. I’d rather sit there quit and choose not to ‘have a finger in a pie’. Kalau misal orang itu butuh bantuan, ya aku akan berusaha untuk menghibur & bikin dia tenang… kalau orangnya percaya ke aku, sih.”

v  “Gamau, ah! Entar yang ada malah jadi boomerang buat kita yang menghargai perasaan orang lain, lagi! Ntar kebaikan kita malah dimanfaatkan! Kan ga mau!”



Nah, jika Anda mau memilih… Pasti Anda akan lebih memilih Testimony 1. Berarti Anda termasuk golongan orang-orang yang mau mengerti perasaan orang lain.  Menebarkan kebaikan itu pasti ada balasannya, kok. Serahkan semua kepada Allah. Semua kebaikan yang kita lakukan tentu atas ijin-Nya. Insha Allah kebaikan kita bermanfaat bagi semua orang. Soal orang lain yang ga menghargai perasaan kita, ya kita harus tetap berbuat baik ke orang itu. Yang penting, kita sudah menebar kebaikan. Sifat mereka ya sifat mereka sendiri. J J J 



Semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk selalu menjaga kebaikan pada semua orang, ya! J

Wasalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh ..


-Annisa Miftakhul Janna


Jumat, 06 Juni 2014

Terima Kasih Untukmu, Mas



۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..








       Malam hampir larut, suara detik jam semakin jelas terdengar menguasai ruang. Aku yakin, orang-orang yang telah beraktivitas penuh sudah menelentangkan tubuhnya. Mulai mengistirahatkan pikiran. Waktu tidak akan berbicara banyak, ia hanya diam dan terus melangkahkan kakinya. Ia tak akan pernah berbalik arah, berjalan mundur, atau sedikit menengok ke belakang.

       Untuk mas R, terima kasih atas jam tangan pemberianmu, Mas. Dengan pemberianmu ini, aku jadi 'lebih' menghargai waktu. Apakah Mas R masih ingat jam tangan pemberianmu waktu aku berulang tahun ke 17? Mas memberikannya pada tanggal 28 Mei 2014...telat 3 hari setelah ulang tahunku, 25 Mei 2014. Awalnya, aku begitu kecewa, Mas. Karena kupikir kau tak mengingat hari ulang tahunku. Tapi ternyata....kau ingat.



       Ternyata kau telah sekongkol dengan temanku. Temanku mengetahui bahwa kau akan memberiku hadiah. Temanku juga mengatakan bahwa kau telah menyiapkan hadiah itu seminggu sebelum aku berulang tahun. Aku sangat terkesima, Mas. :'). Andai Mas tahu, bagiku hal ini sangat istimewa. Buatku, pemberianmu ini manis. Ternyata aku telah salah menilaimu, kukira kau tak peduli denganku dan saat aku mendengar kata-kata dari temanmu yang tentunya tak ingin kudengar, tanggal 19 Mei lalu. Sungguh aku minta maaf, Mas.

       Tanggal 26 Mei kau mengirimkan aku sebuah pesan untuk mengajakku bertemu di tempat kau memberiku sekotak Bakpia Jogja saat aku hendak pergi Olimpiade Kimia, 1 April 2014. Ya, di UKS. Entah mengapa sekarang tempat itu menjadi tempat kenangan bagiku. Awalnya aku bingung, apakah kau ingat akan ulang tahunku.

       Aku ingat saat kau menungguku di ruang itu. Jantungku rasanya berdetak tak beraturan saat aku duduk di depanmu. Membuka pembicaraan dengan menanyakan kabarku. Lalu aku bertanya mengapa kau berniat untuk menemuiku.
"Yo gapopo to. Wes suwi pisan gak tau ketemu awakmu."
("Ya tidak apa-apa kok. Sudah lama juga gak pernah ketemu kamu.") Jawabmu. Masih dengan khas logat Jawamu.

       Saat itu aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku bertanya banyak tentang hasil SNMPTN-mu. Meskipun kau jawab seadanya. Aku menebak kau keterima dimana, tebakanku pertama salah... Bukan di ITS, lalu aku menanyakan padamu,

"Kalau di UNAIR ada gak jurusan Teknik Lingkungan, Mas?"

"Iya, itu."

"Pasti Mas keterima di situ."

Kau hanya tersenyum, dan aku mengartikan senyummu dengan jawaban "iya".


       Perkataan demi perkataan terlewati. Walau bagiku, aku tahu itu hanya sekedar basa-basi belaka. Aku berusaha agar menjadi sedikit dewasa untuk tidak salah tingkah lagi di hadapanmu. Berusaha menahan senyum yang lebar dengan tatapan biasa-biasa saja. Lalu kemudian kau menghentikan topik pembicaraan tentang temanmu yang keterima kuliah di luar kota dengan berkata,
"eh, onok titipan..."
("eh, ada titipan...")

"teko sopo, Mas?" kataku canggung
("dari siapa, Mas?")

"teko Ra....."
("dari Ra.....")

       Aku tak bisa menahan tawaku waktu itu. Aku begitu terharu sekaligus tersapu malu. Aku begitu kaget. Sekaligus senang. R...... itu namamu, Mas. Mengapa tidak kau katakan saja secara langsung jika titipan itu darimu? Terselip rasa terima kasih yang lebih dari terima kasih. Aku bingung menjelaskannya. Bukan karena hadiahnya, bukan karena rencana memberikannya, tapi karena itu pemberian darimu, Mas.

       Aku senang, senang sekali. Sayang aku bukan tipe perempuan yang ekspresif saat kejadian. Kalau tidak, aku pasti sudah loncat-lancat di tempat waktu kamu kasih itu ke aku. Jangan bilang aku berlebihan, tapi aku senang sekali dengan yang namanya hadiah. Apapun bentuknya. Aku senang karena di tengah-tengah orang tua yang melupakan hari ulang tahunku, masih ada Mas yang peduli padaku...dan memberiku hadiah meskipun tak tepat pada hari ulang tahunku.



       Hadiah yang terbungkus kertas kado berwarna biru dengan gambar motif lingkaran.
Kau menyodorkannya padaku. Sejenak aku masih tak bisa bergerak, lalu aku menerimanya. Padahal aku tak meminta ini darimu, Mas. Sungguh, aku tak mungkin berani berharap kalau kau memberiku hadiah. Tapi mungkin, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Aku tak tahu, Mas. Ya, saat itu aku sangat senang. Tapi...melihat kenyataan bahwa kau akan menjamah dunia mahasiswa.... Perlahan aku mulai bersedih hati. Karena sebentar lagi aku tak akan bertemu denganmu lagi. Kau akan sibuk dengan skripsimu, dengan dunia barumu. Tapi segera mungkin kutempis semua rasa itu dengan kegembiraan. Aku bahagia karena Mas sudah lulus dan kuliah di jurusan yang Mas inginkan. Karena Mas akan mengejar cita-cita yang mulia. Kelak kau akan menunjukkan pengabdianmu pada bangsa, negara, dan masyarakat. Aku bahagia sekali, Mas...sungguh.

"Mas.. Kok repot-repot sih. Padahal aku gak minta. Suwun lho, Mas."

"Lha lapo? Gakpopo lah. Karepku dewe kok iku. Suwun pisan yo jakete. Jakete tak gawe kok. Enak, adem..."
("Loh kenapa? Tidak apa-apa lah. Keinginanku sendiri kok itu. Terima kasih juga ya jaketnya. Jaketnya tak pakai kok. Enak, dingin...")

       Aku tak bisa menahan senyum melihat senyummu setelah mengucapkan kata "Adem...". Seketika baumu yang wangi menebar pada indra penciumanku. Aku tak akan bisa melupakan aroma ini. Begitu segar, pikirku. Aku mencoba memecah suasana,

"opo iki isine, Mas? Hahaha.."
("apa ini isinya, Mas? Hahaha..")

"Lho, yo dibukak rek. Tapi ojo dibuka nang kene, nang omah ae..."
("Lho, ya dibuka lah. Tapi jangan dibuka di sini, di rumah saja...")

       Lalu tiba Astrid, teman sekelasku. Ternyata dia mencariku yang tiba-tiba hilang saat usaiku sholat. Aku berdiri dan hendak pamit. Tiba-tiba, mbak Eny, penjaga UKS memotong,

"Gak perlu keresek ta?" Aku tersenyum, hampir tertawa.

"Tidak, Mbak. Terima kasih. Tak sembunyikan aja..." sahutku sambil menyembunyikan hadiah berwarna biru itu di balik kerudungku yang tak tembus pandang.

"Aku tak balik sek yo, Mbak, Mas. Oh iyo, Mas. Makasih yo." Aku keluar dari ruangan itu.

       Sepulang sekolah aku membuka hadiah darimu itu, Mas. Aku buka perlahan...dan...jam tangan? Jam tangan yang begitu berkilau. Jika aku tahu kalau Mas memberiku jam tangan yang berkilau ini, mungkin aku akan menghentikanmu saat kau hendak membelinya. Sebenarnya aku bukan tipe wanita yang mengagumi sesuatu yang berkilauan. Tetapi aku lebih menjunjung tinggi untuk menghargai perasaan orang lain ketimbang memikirkan egoku. Ya, apapun hadiah yang kau berikan, aku suka, sangat suka. Asal itu kemauanmu sendiri. Mungkin jaket pemberianku tak sebanding dengan harga jam tangan yang kau berikan, Mas. Aku tak tahu mengapa engkau bisa semanis ini. Walaupun terlalu besar ukuran jamnya, tak masalah, Mas. Aku bisa mengecilkannya nanti dan memakainya esok hari. :)

       Sejak sehari setelah kau memberikan hadiah itu, aku selalu memakai jam tangan pemberianmu pada tangan kiriku, Mas. Aku selalu membiarkan jam itu melingkar erat di tangan kiriku. Sehingga setiap aku memalingkan pandangan untuk melihat waktu, aku selalu ingat akan sosokmu. Aku tak akan pernah melupakanmu, Mas.
Aku meraih buku diaryku dan menuliskan bait-bait puisi untukmu. Memang tidaklah mengandung diksi-diksi indah layaknya siraman cahaya langit jingga. Aku bukan penyair, Mas. Tetapi setidaknya, aku bisa mewakili perasaanku saat itu dengan menulis.



Surabaya, 28 Mei 2014


Mas R......, jika namamu yang
tertulis di Lauhul Mahfudz untuk diriku,
niscaya rasa cinta itu akan Allah tanamkan dalam diriku,
dan tidak akan hilang tanpa seijin-Nya.
Tugasku bukan menjaga dirimu,
kamulah yang harus menjaga diri dan hatimu.
Begitupun aku.
Selain tugasku adalah mensholehah-kan diriku.
Kau adalah orang yang sungguh baik
Aku percaya kau sedang lebih memperbaiki dirimu,
memantaskan dirimu untuk menjadi imam bagi
tulang rusukmu dan buah hatimu kelak.
Jika orang itu bukanlah aku,
aku tidak punya alasan untuk menahanmu.
Aku tidak memiliki wewenang, Mas
Jalan menuju cita-citamu masih panjang
Gapailah impianmu setinggi langit, Mas
Sehingga apabila kau jatuh,
kau akan jatuh di antara bintang-bintang
Aku akan menyimpan hadiahmu ini dengan baik, Mas
Rinduku padamu akan kusatukan dengan deburan ombak di pantai
Sambil mengenangmu saat senja telah datang di sanubari
Aku tak akan pernah melupakanmu, Mas
Mas sukses ya di sana
Doaku selalu menyertaimu
Inni uhibbuka fillah...


TTD
-Annisa Miftkhul Janna-



       Bayangan kelas XII terpampang, akan datang di hadapanku. Mas, kau telah wisuda. Tinggal menunggu beberapa minggu saja untuk membuktikan bahwa kau akan benar-benar pergi. Setelah liburan semester nanti, aku akan menggantikanmu menjadi anak kelas XII. Tidak ada kau lagi. Tidak ada sosok sepertimu lagi. Kini, yang ada hanya bayanganmu saja, Mas... Kini, aku hanya bisa melanjutkan perjalananku sendirian. Menebas rintangan yang akan mendatangiku. Aku akan merindukanmu, Mas. Aku tak tahu apakah aku akan bertemu dengamu lagi dan saling bicara dan menatap matamu dalam-dalam. Mungkin, tapi nanti.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..