۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..
|
Malam hampir larut, suara detik jam semakin jelas terdengar menguasai ruang. Aku yakin, orang-orang yang telah beraktivitas penuh sudah menelentangkan tubuhnya. Mulai mengistirahatkan pikiran. Waktu tidak akan berbicara banyak, ia hanya diam dan terus melangkahkan kakinya. Ia tak akan pernah berbalik arah, berjalan mundur, atau sedikit menengok ke belakang.
Untuk mas R, terima kasih atas jam tangan pemberianmu, Mas. Dengan pemberianmu ini, aku jadi 'lebih' menghargai waktu. Apakah Mas R masih ingat jam tangan pemberianmu waktu aku berulang tahun ke 17? Mas memberikannya pada tanggal 28 Mei 2014...telat 3 hari setelah ulang tahunku, 25 Mei 2014. Awalnya, aku begitu kecewa, Mas. Karena kupikir kau tak mengingat hari ulang tahunku. Tapi ternyata....kau ingat.
Ternyata kau telah sekongkol dengan temanku. Temanku mengetahui bahwa kau akan memberiku hadiah. Temanku juga mengatakan bahwa kau telah menyiapkan hadiah itu seminggu sebelum aku berulang tahun. Aku sangat terkesima, Mas. :'). Andai Mas tahu, bagiku hal ini sangat istimewa. Buatku, pemberianmu ini manis. Ternyata aku telah salah menilaimu, kukira kau tak peduli denganku dan saat aku mendengar kata-kata dari temanmu yang tentunya tak ingin kudengar, tanggal 19 Mei lalu. Sungguh aku minta maaf, Mas.
Tanggal 26 Mei kau mengirimkan aku sebuah pesan untuk mengajakku bertemu di tempat kau memberiku sekotak Bakpia Jogja saat aku hendak pergi Olimpiade Kimia, 1 April 2014. Ya, di UKS. Entah mengapa sekarang tempat itu menjadi tempat kenangan bagiku. Awalnya aku bingung, apakah kau ingat akan ulang tahunku.
Aku ingat saat kau menungguku di ruang itu. Jantungku rasanya berdetak tak beraturan saat aku duduk di depanmu. Membuka pembicaraan dengan menanyakan kabarku. Lalu aku bertanya mengapa kau berniat untuk menemuiku.
"Yo gapopo to. Wes suwi pisan gak tau ketemu awakmu."
("Ya tidak apa-apa kok. Sudah lama juga gak pernah ketemu kamu.") Jawabmu. Masih dengan khas logat Jawamu.
Saat itu aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku bertanya banyak tentang hasil SNMPTN-mu. Meskipun kau jawab seadanya. Aku menebak kau keterima dimana, tebakanku pertama salah... Bukan di ITS, lalu aku menanyakan padamu,
"Kalau di UNAIR ada gak jurusan Teknik Lingkungan, Mas?"
"Iya, itu."
"Pasti Mas keterima di situ."
Kau hanya tersenyum, dan aku mengartikan senyummu dengan jawaban "iya".
Perkataan demi perkataan terlewati. Walau bagiku, aku tahu itu hanya sekedar basa-basi belaka. Aku berusaha agar menjadi sedikit dewasa untuk tidak salah tingkah lagi di hadapanmu. Berusaha menahan senyum yang lebar dengan tatapan biasa-biasa saja. Lalu kemudian kau menghentikan topik pembicaraan tentang temanmu yang keterima kuliah di luar kota dengan berkata,
"eh, onok titipan..."
("eh, ada titipan...")
"teko sopo, Mas?" kataku canggung
("dari siapa, Mas?")
"teko Ra....."
("dari Ra.....")
Aku tak bisa menahan tawaku waktu itu. Aku begitu terharu sekaligus tersapu malu. Aku begitu kaget. Sekaligus senang. R...... itu namamu, Mas. Mengapa tidak kau katakan saja secara langsung jika titipan itu darimu? Terselip rasa terima kasih yang lebih dari terima kasih. Aku bingung menjelaskannya. Bukan karena hadiahnya, bukan karena rencana memberikannya, tapi karena itu pemberian darimu, Mas.
Aku senang, senang sekali. Sayang aku bukan tipe perempuan yang ekspresif saat kejadian. Kalau tidak, aku pasti sudah loncat-lancat di tempat waktu kamu kasih itu ke aku. Jangan bilang aku berlebihan, tapi aku senang sekali dengan yang namanya hadiah. Apapun bentuknya. Aku senang karena di tengah-tengah orang tua yang melupakan hari ulang tahunku, masih ada Mas yang peduli padaku...dan memberiku hadiah meskipun tak tepat pada hari ulang tahunku.
Hadiah yang terbungkus kertas kado berwarna biru dengan gambar motif lingkaran.
Kau menyodorkannya padaku. Sejenak aku masih tak bisa bergerak, lalu aku menerimanya. Padahal aku tak meminta ini darimu, Mas. Sungguh, aku tak mungkin berani berharap kalau kau memberiku hadiah. Tapi mungkin, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Aku tak tahu, Mas. Ya, saat itu aku sangat senang. Tapi...melihat kenyataan bahwa kau akan menjamah dunia mahasiswa.... Perlahan aku mulai bersedih hati. Karena sebentar lagi aku tak akan bertemu denganmu lagi. Kau akan sibuk dengan skripsimu, dengan dunia barumu. Tapi segera mungkin kutempis semua rasa itu dengan kegembiraan. Aku bahagia karena Mas sudah lulus dan kuliah di jurusan yang Mas inginkan. Karena Mas akan mengejar cita-cita yang mulia. Kelak kau akan menunjukkan pengabdianmu pada bangsa, negara, dan masyarakat. Aku bahagia sekali, Mas...sungguh.
"Mas.. Kok repot-repot sih. Padahal aku gak minta. Suwun lho, Mas."
"Lha lapo? Gakpopo lah. Karepku dewe kok iku. Suwun pisan yo jakete. Jakete tak gawe kok. Enak, adem..."
("Loh kenapa? Tidak apa-apa lah. Keinginanku sendiri kok itu. Terima kasih juga ya jaketnya. Jaketnya tak pakai kok. Enak, dingin...")
Aku tak bisa menahan senyum melihat senyummu setelah mengucapkan kata "Adem...". Seketika baumu yang wangi menebar pada indra penciumanku. Aku tak akan bisa melupakan aroma ini. Begitu segar, pikirku. Aku mencoba memecah suasana,
"opo iki isine, Mas? Hahaha.."
("apa ini isinya, Mas? Hahaha..")
"Lho, yo dibukak rek. Tapi ojo dibuka nang kene, nang omah ae..."
("Lho, ya dibuka lah. Tapi jangan dibuka di sini, di rumah saja...")
Lalu tiba Astrid, teman sekelasku. Ternyata dia mencariku yang tiba-tiba hilang saat usaiku sholat. Aku berdiri dan hendak pamit. Tiba-tiba, mbak Eny, penjaga UKS memotong,
"Gak perlu keresek ta?" Aku tersenyum, hampir tertawa.
"Tidak, Mbak. Terima kasih. Tak sembunyikan aja..." sahutku sambil menyembunyikan hadiah berwarna biru itu di balik kerudungku yang tak tembus pandang.
"Aku tak balik sek yo, Mbak, Mas. Oh iyo, Mas. Makasih yo." Aku keluar dari ruangan itu.
Sepulang sekolah aku membuka hadiah darimu itu, Mas. Aku buka perlahan...dan...jam tangan? Jam tangan yang begitu berkilau. Jika aku tahu kalau Mas memberiku jam tangan yang berkilau ini, mungkin aku akan menghentikanmu saat kau hendak membelinya. Sebenarnya aku bukan tipe wanita yang mengagumi sesuatu yang berkilauan. Tetapi aku lebih menjunjung tinggi untuk menghargai perasaan orang lain ketimbang memikirkan egoku. Ya, apapun hadiah yang kau berikan, aku suka, sangat suka. Asal itu kemauanmu sendiri. Mungkin jaket pemberianku tak sebanding dengan harga jam tangan yang kau berikan, Mas. Aku tak tahu mengapa engkau bisa semanis ini. Walaupun terlalu besar ukuran jamnya, tak masalah, Mas. Aku bisa mengecilkannya nanti dan memakainya esok hari. :)
Sejak sehari setelah kau memberikan hadiah itu, aku selalu memakai jam tangan pemberianmu pada tangan kiriku, Mas. Aku selalu membiarkan jam itu melingkar erat di tangan kiriku. Sehingga setiap aku memalingkan pandangan untuk melihat waktu, aku selalu ingat akan sosokmu. Aku tak akan pernah melupakanmu, Mas.
Aku meraih buku diaryku dan menuliskan bait-bait puisi untukmu. Memang tidaklah mengandung diksi-diksi indah layaknya siraman cahaya langit jingga. Aku bukan penyair, Mas. Tetapi setidaknya, aku bisa mewakili perasaanku saat itu dengan menulis.
Surabaya, 28 Mei 2014
Mas R......, jika namamu yang
tertulis di Lauhul Mahfudz
untuk diriku,
niscaya rasa cinta itu akan
Allah tanamkan dalam diriku,
dan tidak akan hilang tanpa
seijin-Nya.
Tugasku bukan menjaga dirimu,
kamulah yang harus menjaga diri
dan hatimu.
Begitupun aku.
Selain tugasku adalah
mensholehah-kan diriku.
Kau adalah orang yang sungguh
baik
Aku percaya kau sedang lebih
memperbaiki dirimu,
memantaskan dirimu untuk
menjadi imam bagi
tulang rusukmu dan buah hatimu
kelak.
Jika orang itu bukanlah aku,
aku tidak punya alasan untuk
menahanmu.
Aku tidak memiliki wewenang,
Mas
Jalan menuju cita-citamu masih
panjang
Gapailah impianmu setinggi
langit, Mas
Sehingga apabila kau jatuh,
kau akan jatuh di antara
bintang-bintang
Aku akan menyimpan hadiahmu ini
dengan baik, Mas
Rinduku padamu akan kusatukan
dengan deburan ombak di pantai
Sambil mengenangmu saat senja
telah datang di sanubari
Aku tak akan pernah
melupakanmu, Mas
Mas sukses ya di sana
Doaku selalu menyertaimu
Inni uhibbuka fillah...
-Annisa Miftkhul Janna- |
Bayangan kelas XII terpampang, akan datang di hadapanku. Mas, kau telah wisuda. Tinggal menunggu beberapa minggu saja untuk membuktikan bahwa kau akan benar-benar pergi. Setelah liburan semester nanti, aku akan menggantikanmu menjadi anak kelas XII. Tidak ada kau lagi. Tidak ada sosok sepertimu lagi. Kini, yang ada hanya bayanganmu saja, Mas... Kini, aku hanya bisa melanjutkan perjalananku sendirian. Menebas rintangan yang akan mendatangiku. Aku akan merindukanmu, Mas. Aku tak tahu apakah aku akan bertemu dengamu lagi dan saling bicara dan menatap matamu dalam-dalam. Mungkin, tapi nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar