Minggu, 01 Februari 2015

Waktu


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..
 
 
       Dulu aku menyukai langit karena aku merasa langit adil. Tak pernah membeda-bedakan siapapun yang memandangnya. Ia tetap menampakkan hal yang sama, yaitu keindahan. Dimanapun aku berdiri, aku akan memandang langit yang sama. Langit yang begitu luas. Saking luasnya aku bahkan sampai lupa betapa sempitnya tempat dimana aku berpijak. Namun kini aku memiliki alasan lain untuk menyukai langit. Tempat yang tinggi dan luas menyadarkanku bahwa aku tidak akan pernah bisa meraihnya. Sekalipun aku terbang ke angkasa, sesungguhnya semua hanyalah ilusi. Aku tetap tak bisa menggapainya.

       Jika diibaratkan warna, dia biru dan aku jingga. Dua warna berbeda yang terikat dalam satu dimensi waktu yang sama dan singkat. Sesingkat saat fajar menyingsing di tepian cakrawala hingga tergelincir dan kembali ke peraduan. Sekali kami dipertemukan, tetap dalam waktu yang singkat. Seperti itulah keadaannya.


       Dari sekian banyak elemen yang ada, menurutku yang paling kuat adalah waktu. Entah waktu termasuk elemen atau bukan. Menurutku waktu sangat digdaya. Saking saktinya, waktu jadi sesuatu yang sangat, atau bahkan, paling berharga. apabila aku diberi kesempatan untuk memilih kekuatan super apa yang ingin aku miliki, aku akan memilih untuk dapat mengendalikan waktu. Semua kekuatan, baik itu seperti kuatnya Superman, entah itu gaya magnetnya Ironman, ataupun kehidupan cintanya Spiderman, semuanya nggak akan ada artinya bila dihentikan. Ya, mereka tunduk pada waktu.

        Dari sekian masaku dengan waktu, ada beberapa hal penting yang dapat kuungkap. Dan aku belajar dari itu semua.

Waktu itu menyembuhkan

       Ditinggalkan dia yang berharga. Diacuhkan oleh dia yang kau rindukan. Bahkan mengetahui dia telah memekarkan bunga dalam hatinya untuk orang lain.
Yang harus kulakukan hanyalah..menjadi lebih dewasa. Mikir tiada akhir? Buat apa? Lepaskan.. Biarlah dia sendiri yang memilih jalan hidupnya.

       Mengejutkannya, semua itu bisa sembuh. Memang banyak sekali alasan untuk menyembuhkan luka semacam itu. Misal dengan alasan ingin lebih fokus ujian, atau alasan lain yaitu sudah merelakan, atau dengan alasan basi yaitu sudah lupa. 

       Kita tidak tahu apakah kita masih diberi kesempatan untuk jatuh cinta lagi. Kita tak akan pernah bisa menduga apakah kita benar-benar merelakan. Dan tak pernah bisa menebak apakah bisa melupakan. Semua tidak akan kita ketahui bila kita tidak diberi kesempatan.

 Kesempatan itu butuh waktu.


Bila tidak menyembuhkan, minimal bisa menyadarkan

       Butuh waktu untuk sadar bahwa seseorang itu berharga. Tapi karena waktu itulah, dia membiarkan bukti-bukti sedikit demi sedikit bermunculan. Mencuat ke permukaan. Bukti bahwa sebenarnya yang kamu butuhkan adalah orang itu. Bukti bahwa sesungguhnya kamu bisa merelakan. Bukti bahwa sejatinya cinta itu harus memiliki, atau direlakan sama sekali.

Dan berapa waktu yang dibutuhkan? Nggak ada yang bisa mengira. Cuma waktu yang tau. 

Waktu adalah penguji yang teruji


       Semua ucapan, semua tindakan, semua harapan, semua angan-angan, bahkan sepertinya semua hal di dunia ini harus melewati ujian. Dan waktu seringkali menyajikan ujian yang nggak bisa ditahan. Nggak ada yang lebih meyakinkan dari sesuatu/seseorang yang sudah lulus diuji oleh waktu. Semua omong kosong berbalut manis yang keluar semasa kasmaran, semuanya cuma bisa dibuktikan melalui ujian melewati waktu.

       Sayangnya, kita sebagai manusia sering terlalu nggak sabaran. Menyimpulkan dan mengambil keputusan padahal yang dibutuhkan cuma sabar dan kebijaksanaan. Penyesalan datang dan mengungkap semuanya. Lagi-lagi, dalam hal penyesalan sekalipun, yang paling berperan adalah sang waktu.


      Waktu telah menguji semuanya. Semuanya. Semua bisa terungkap karena waktu. Terima kasih waktu, terutama..seseorang yang memberiku sesuatu yang selalu mengingatkanku akan waktu..karenamu..aku mengetahui banyak hal. Hal yang bisa diungkap, hal yang hanya sekedar dirasa, ataupun hal yang tak terungkap dengan kata..

       Suatu waktu, aku merasa ditelan oleh waktu. Terbang dan mendarat di atas puing-puing berbagai dimensi yang berserakan. Dan aku merasa hilang...
Hilang
Hilang
Hilang
Seakan hanya kata hilang yang selalu memutar di pikiranku.

"Bila aku tak baik untukmu
dan bila dia bahagia dirimu
aku kan pergi
meski hati tak akan....
rela..." 

Aku berhenti sejenak dan menghayati lagu macam apa yang memutar di kepalaku. Terhanyut dalam angin malam yang menembus tulang-tulangku. Sambil mengahayati lirik macam lagu yang tiba-tiba datang disaat aku tak ingin memikirkannya lagi.


       Pada malam itu aku hanya ingin tidur. Istirahat untuk persiapan bimbel diknas esok hari. Dan nyatanya, satu alunan lagu bisu yang tiba-tiba bermain di kepalaku berhasil membuat kantukku memudar. Aku hanya berharap waktu cepat berlalu.

       ***

       Perlahan membuka mata, Astagfirullah ... Tidur hanya 3 jam. Bagaimana bisa lekas sembuh bila rundown untuk tidur sangat kurang sekali? Baru saja aku sehari masuk sekolah, hari Sabtu ke sekolah lagi. Aku hanya tidak ingin berlama-lama lagi mendekap mata untuk tidak melihat dunia luar hanya karena sakit. Sakit memang menyebalkan. Entah darimana datangnya sakit ini. Makan? Teratur. Olahraga? Beres. Mungkin aku harus mengurangi pikiranku yang berlebihan saat memikirkan sesuatu. Tugas, deadline, tryout, Sabtu yang tidak libur, Selasa-Jumat pulang jam 8 malam, atau...memikirkan orang itu.

       Udara segar temaniku pagi ini. Sabtu yang indah untuk menuntut ilmu. Dengan seenaknya aku menghidup nafas dalam-dalam. SubhanAllah sungguh aku menjadi orang yang beruntung karena telah mendapat kesempatan menyaksikan pagi yang indah ini.

       Aku tiba di sekolah.
"Terlalu awal.", gumamku.
Sambil menunggu anak yang lain datang, aku segera mengambil mukena dan menuju mushola. Sayang, pintunya tidak terbuka. Meski mengambil keputusan untuk sholat di latar mushola, air wudlunya pun tidak mau menyala. Apa boleh buat, aku hanya bisa duduk mengamati taman di depan mushola sekolahku. Sepi. Sesepi hidupku kini yang tanpa seorang teman. Aku tidak memohon agar kesepian yang aku alami akan segera berakhir, tetapi aku hanya memohon untuk diberi kesabaran berlebih untuk melaluinya. Bersedih hati seorang diri memang menyakitkan. Tapi yang lebih menyakitkan adalah tiada tempat untuk berbagi saat kau merasa bahagia.

       Aku mengamati satu persatu tanaman yang ada di taman itu. Seakan mengamati, namun pikiran melayang entah kemana. Mulai memikirkan lirik lagu yang semalam sempat mengangguku.
"Tak akan rela? haha.", gumamku dalam hati sambil menahan senyum.

       Tidak rela? Sungguh memalukan bila memaksakan perasaan sendiri. Terlalu egois. Aku selalu percaya dengan kekuatan waktu. Sampai detik ini pun, aku percaya bahwa waktu dapat menyembuhkan segalanya. Aku pun percaya bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin. Seperti kata Darwis Tere Liye. Ya, aku percaya bahwa kehendak Allah-lah yang terbaik.


       Menjadi dewasa itu perlu. Aku bukan tipe orang pembenci seseorang karena satu kesalahannya. Aku selalu mengahargai kebaikan seseorang, pun walau aku merasa tiada seorangpun yang membalasnya. Aku tak akan pernah melupakan seribu kebaikan seseorang hanya karena satu kesalahannya.

       Sepulang bimbel diknas dari sekolah, aku hanya ingin langsung pulang ke rumah. Hanya ingin sendiri, tapi akhirnya aku kembali ke peraduan sambil menemani teman se-SMP dulu yang juga datang ke sekolahku untuk mengikuti bimbel diknas. Di atas angkot, aku memandang langit. Langit yang aku kagumi, berubah menjadi kepalan-kepalan arum manis kelabu. Lama-kelamaan warna kelabu itu jadi merata. Perlahan-lahan hujan membasahi bumi pertiwi. 
"Nisa pinjem payungku ta? Nanti sakit lagi lho kalau kehujanan..", kata Windy.
"Gapapa kok, Win. Kamu aja yang pakai payung. Kan habis ini kamu juga turun."
Aku tersenyum, ya Allah..senang rasanya ternyata masih ada orang yang peduli padaku.

"Win, aku duluan ya..", pamitku pada Windy.
Aku menyusuri jalanan ditemani rintikan air hujan. Setapak demi setapak. Hujan? Mengapa selalu hujan? Basah kuyup aku dibuatnya. Aku memecahkan pandanganku ke atas. Dan pada akhirnya, lagi dan lagi, aku berakhir di bawah rintikan air hujan.


       Aku tidak pernah menyalahkan Ayah akan kejadian-kejadian menyedihkanku sekarang. Aku tidak pernah marah pada Ibu yang saat itu bilang bahwa ia tak memiliki uang lagi untuk melanjutkan studiku. Kini hidupku bergantung pada beasiswa. Aku hanya ingin meraihnya dan menjadi sukses. Aku ingin mengangkat derajat Ibuku kembali yang tengah jatuh. Ternyata begitu sulit. Dan sekali lagi, aku tidak berharap semua ini berakhir, aku hanya ingin diberi kesabaran lebih untuk melaluinya.



"Nak, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau, kuat dan kokoh, mahal harganya. Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kau alami, semakin dalam dan menyedihkan rasanya, jika kau bisa bertahan, tidak hancur, maka kau akan tumbuh menjadi seorang yang berkarakter laksana intan. Kuat. Kokoh."


       Demi mendapat sesuatu yang aku harapkan untuk membahagiakan orang lain, aku sadar bahwa aku harus berkorban. Tak peduli sekeras apa rintangan itu. Aku tak akan menghiraukan. Kehidupan bagaikan batu, dan aku laksana ombak. Sekeras apapun batu itu, akan perlahan-lahan terkikis oleh air, walau hanya setetes demi setetes.

       Berbahagialah, carilah jalan hidupmu sesuka hatimu. Aku akan menghargai tiap detik yang kau habiskan karena bahagiamu. Ya..Bahagiamu. Berbahagialah selagi kau bahagia. Pergilah kemanapun kau ingin pergi. Peluk hatinya, dia lebih mengasihimu, dia lebih ..... (agak berat mengungkapnya). Aku akan tetap disini. Entah pada akhirnya kau datang ataupun tidak. Aku percaya bahwa Allah selalu mempunyai cara-Nya sendiri. Aku lebih mempercayai-Nya. Percayalah, jalanku telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Aku mengagumi matahari, karena aku menyukai sunset. Tapi aku tak akan membawa pulang matahari. Kalaupun itu bisa dilakukan, tidak akan aku lakukan. Aku mengagumi serumpun mawar yang berbunga warna-warni. Tetapi aku tak akan memotongnya, apa susahnya, tetapi tak akan pernah aku lakukan. Aku mengasihi kunang-kunang, indah cahayanya yang gemerlap bagaikan bintang saat malam datang. Tapi aku tak akan pernah menangkapnya, memasukkannya dalam botol untuk menghiasi meja makan. Tentu bisa dilakukan dengan jebakan. Kalaupun aku bisa menangkapnya, tidak akan pernah kulakukan.
Mengapa aku menganalogikan seperti itu? Egois sekali bila tetap kulakukan. Lihatlah, tiada lagi sunset tanpa matahari. Tiada lagi taman berwarna-warna tanpa mawar. Ataupun temaram malam tanpa kunang-kunang.
Aku membiarkannya tetap pada tempatnya. Membiarkan seperti apa adanya. Hanya menyimpan rasa kagum dalam hati untuk menikmatinya. Begitu seterusnya..

-Annisa Miftakhul Janna-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar