Selasa, 20 Mei 2014

Sepucuk Surat untuk Ibu


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..


Untuk Ibuku tersayang,



       Ibu... Aku bukanlah penyair yang amat sangat hebat, yang membuat sebuah karya dengan diksi-diksi indah tersusun rapi menjadi sajak-sajak kalimat penuh makna. Aku bukan seorang penulis novel dengan segudang kata-kata mutiara nan indah di dalamnya. Aku tidak pandai melakukan hal seperti apa yang penyair lakukan, karena aku bukan seorang penyair. Aku hanya seorang anak berumur 16 tahun yang telah lahir selamat dari rahim seorang Ibu yang hebat sepertimu.

       Sejak aku diajari menulis abjad, aku sudah membayangkan sesuatu: menulis surat untukmu. Aku sudah menulis banyak sekali surat untuk Ibu dalam setiap imajinasiku, dalam setiap anganku, dan dalam setiap mimpiku ada sosokmu.

       Ibu, banyak sekali hal yang ingin kukatakan padamu... Tetapi, aku tak sanggup mengatakannya secara terang-terangan padamu. Aku menulis sepucuk surat ini untukmu. Dan aku mungkin terlalu bodoh karena membiarkan surat bisu ini tak terbaca olehmu. Memang sengaja, mungkin lebih baik surat ini aku tulis pada blog ini. Blog yang hanya aku promosikan lewat situs web akun sosialisasi dunia maya milikku. Blog yang dihiasi oleh kata demi kata yang kulontarkan untuk menggantikan perasaanku yang berkecambukan tiada tara.

       Ibu, aku baik-baik saja, aku selalu dalam lindunganNya, sebagaimana doamu di pagi, siang, senja, dan malam hari. Ibu, mengapa aku selalu sendiri, selalu saja sendiri. Teman-temanku serasa pergi, hidupku yang tanpa warna serasa mati, dan aku benar-benar sendiri di dunia ini.

       Ibu... Jika engkau mendoakan agar nilai-nilaiku baik, maka itu telah jadi genggaman. Kau selalu mendoakan kesehatanku. Namun sepertinya engkau belum mendoakan kebahagiaanku. Kebahagiaan agar aku tak sendirian dalam isak tangis dan lamunanku, agar aku tak kesepian, agar aku tak lagi hanya menangis di kamar mandi, saat aku merebahkan keningku dalam sujudku, ataupun saat aku merebahkan diri ke tempat tidur sebelum aku menggapai mimpi indah malamku.

      Ibu... selalu bertanya bagaimana kabarku hari ini? Kabar mata pelajaran yang kurang kupahami. Kabar nilaiku yang paling bagus. Pernahkah ibu bertanya, apakah aku senang dan nyaman di sekolah? Ibu tidak pernah mempertanyakan pertanyaan itu..

       Ibu, aku selalu berdoa setiap pagi, siang, senja, dan malam. Semoga saat pagi hari mentari pagi sampaikan kegelisahanku, semoga terik mentari siang sampaikan kegundahanku, semoga di saat senja datang....gugusan awan jingga sampaikan kepiluanku, semoga rembulan malam sampaikan derai air mataku, bintang sampaikan kesendirianku, bahwa aku sedang kalut dan pilu. Ibu, aku sungguh sendiri di dunia ini.

       Ibu, kadang pada saat malam tak berbintang datang.... Aku selalu mencari-cari bintang walaupun akhirnya aku hanya menemukan satu bintang. Satu bintang yang sinarnya paling terang. Sehingga pada langit yang sangat gelap tertutup awan hitampun, bintang itu tetap gemerlapan dengan indahnya. Untuk menemani kepiluan yang kurasakan seorang diri.

       Ibu, aku menatap bintang. Membayangkan dekapan penuh kasih darimu. Bersama angin malam aku bernyanyi karenamu. Demi menghapus segala sepiku.

"aku selalu mencintaimu, Ibu."

Kata itu selalu membuatku menyesal. Mengapa tak kuucapkan sesering dan sebanyak mungkin untukmu.

       Ibu, cinta kasihmu selalu kau tujukan padaku. Kau selalu datang menggodaku disaat aku tengah sibuk membaca novelku. Kau datang memeluk dan menciumku disaat aku tengah menuliskan sajak-sajak indah tuk hiasi blog ini. Disaat aku sedang sibuk menatap layar handphone ataupun saat aku sedang belajar, kau selalu hadir untuk membagi lelucon bersamaku. Sungguh, sebenarnya aku sangat membutuhkan perhatianmu saat ini.

       Ibu, hari ini aku telah menghadiri upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke 106 pada tanggal 20 Mei 2014 di Gedung Negara Grahadi Surabaya. Hari ini aku tertawa bersama Zahra, Fira, Alip, Raka, Fanny, bahkan dengan Pakdhe Karwo dan Gus Ipul. Tapi... Siapakah yang dapat kuajak untuk tertawa sekarang? Saat ini?

       Ibu, aku benar-benar merasakan kesepian yang teramat dalam. Andai saja kau tahu. Aku tahu, kau hanya sekedar merasakan, bukan benar-benar tahu. Kau dapat merasakan saat aku usai menangis atau saat aku merasa tersinggung dengan perkataan orang. Tapi satu hal yang tak kau ketahui, aku merasa kesepian. Aku merasa berada dalam lautan pilu.

       Ibu, aku selalu menikmati saat-saat gugusan awan jingga terlukis indah di sanubari. Saat-saat senja yang indah, meski dalam tangis kesepian dan kesendirianku. Sekali lagi, kau hanya dapat merasakan bahwa aku baru saja menangis atau kau hanya dapat merasakan saat aku telah tersinggung akibat perkataan orang. Tapi, kau tidak tahu satu hal, kesendirianku. Kepedihan hidupku yang tak pernah sekalipun kukatakan kepadamu. Aku tak sanggup. Sangat berat bila aku membagi tangis bersamamu tentang kepiluanku, apalagi dengan orang lain. Aku tak akan pernah melakukannya. Memperlihatkan hal terlemah dalam diriku. Aku tak akan pernah memperlihatkannya padamu dan orang lain.

       Ibu, sungguh aku ingin menangis sambil memelukmu saat ini. Aku tidak ingin merasakan pahitnya dunia ini tanpamu. Aku tak ingin merasakan pahitnya kesendirianku. Aku tak ingin merasakan pahitnya pengkhianatan cinta. Sejak aku kembali dari gladi bersih hari Senin 19 Maret 2014 lalu, aku tak pernah lagi percaya dengan apa yang namanya cinta. Tentang seseorang yang tak sepantasnya dipercayai lagi, tentang seseorang yang ingkar akan komitmennya sendiri, dan tentang orang yang tak mengerti akan perasaan yang dirasakan oleh orang lain. Semua orang di luar sana benar-benar jahat, Bu. Mereka tak sedikitpun mengerti akan perasaan orang lain. Mereka terlalu egois, tak pernah sedikitpun memikirkan perasaan orang lain. Hati mereka telah membiru pucat dan beku. Aku tak menyalahkan semua orang, hanya saja aku menyesali sesuatu yang membuat pemikiran dan hati mereka kacau. Memang benar bahwa cinta tak membuatku pintar, tetapi bijak. Karena kebanyakan cinta selalu menggunakan hati. Tetapi aku dapat mengambil hikmah yang besar bahwa karena masalah ini aku jadi semakin tahu bahwa Allah selalu menjagaku, Allah telah menunjukkan orang-orang yang salah dalam hidupku. Aku merasa sangat bersyukur walau berberat hati menahan kepiluan saat senyumnya ditujukan pada orang lain. Senyumnya ditujukan untuk seseorang itu, bukan untukku, dan selamanya akan terus seperti itu. Saat ini aku benar-benar menginginkan pelukmu, Bu. Tapi apalah dayaku untuk kuceritakan semua masalah yang telah menimpaku saat ini.

       Kau selalu mendesakku agar aku selalu menceritakan kejadian yang menimpaku entah itu senang ataupun sedih. Aku tahu, kau sangat ingin dekat dengan anakmu ini. Hanya saja, aku tak ingin menambah beban pikiranmu disaat kau sedang sakit seperti ini. Sungguh Ibu, aku hanya ingin memendamnya. Sendirian. Biarkanlah surat ini bisu tak terbaca olehmu.

       Ibu, dulu saat aku masih kecil aku selalu bertanya-tanya mengapa bisa surga berada di bawah telapak kaki Ibu. Tapi waktu telah menjawab. Dan aku sudah cukup dewasa untuk menganalogikan itu semua.

       Ibu, semenjak kau ditempeli oleh penyakit yang entah ku ketahui, kau berubah menjadi seorang ibu yang semakin aneh. Perhatianmu padaku semakin menjadi-jadi. Kau sering mengucapkan kata maaf yang tak jelas karena apa. Andai saja kau tahu, aku selalu menangis akan sikapmu yang seperti itu. Terkadang aku juga mendengar samar-samar isak tangismu di malam hari yang tengah menahan kesakitan. Secara tak sadar, nestapa mengalir dari kedua bola mataku. Tidak tahukah kau aku selalu menangis bila mengingat bahwa aku tak pernah tahu bagaimana sakit yang kau rasakan saat aku dilahirkan. Dalam tiap sujudku aku selalu berdoa agar doa terbaik yang kupanjatkan untukmu, dapat terkabulkan olehNya.

Aku sayang Ibu. Jangan tinggalkan aku, Bu. Aku sayang Ibu.

Wassalam..

-Annisa Miftakhul Janna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar