Selasa, 14 Mei 2013

Hujan Dalam Satu Harapan (Tugas Membuat Cerpen)


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..


Rintikan hujan masih membasahi bumi pertiwi. Bau tanah makin menusuk indra penciuman manusia. Sambil merebah asa diiringi temaran langit kelam di ujung angkasa. Seorang diri berjalan menepaki arah jalan sepi nan basah di batas bumi pertiwi yang asri lagi indah, seindah hati yang ingin ia temui. Hanya saja gerimis kecil itu menghambat lembaran lencana yang ia rangkai dalam memori ingatannya yang sebatas jua. Padahal, sebentar lagi dunia akan didatangi malam tak berbintang, hanya karena kuasa cuaca yang tidak mendukung. Hati seorang diri itu kian diselimuti atmosfer kecemasan yang begitu tebal dan hampir-hampir ia ditikam oleh asa dalam harap saat rasa tersebut ia bendung.
“Mudah-mudahan bisa berjalan sesuai rencana..” Batinnya.
Seorang itu adalah Rio Fauzan, sesosok manusia polos yang seakan terlihat seperti anak kecil karena baby face yang ia miliki. Begitu polos tak ayalnya seperti aktor cilik pada film Home Alone yang biasanya diputar pada saat menjelang tahun baru. Sambil melantunkan lagu sya’ir anak band yang sedang naik daun di kalangan pelajar, ia masih berjalan menembus rintikan anak hujan di petang tak berirama.
“Harus ku akui....
Sulit cari penggantimu....
Yang menyayangku”

Sepanjang jalan, Rio masih melantunkan sya’ir lagu itu, berharap apakah yang ia ucapkan akan segera terjadi. Entahlah. Memang, sudah lama Rio memendam rasa itu tepatnya pada saat ia pertama kali bertemu dengan gadis belia bak bidadari di Surabaya. Selayaknya orang psikolog ulung yang langsung bisa menebak karakter seseorang dengan tatapan matanya, Rio langsung bisa menebak isi hati yang ia temui, dan itu telah terbukti.  Sosok gadis belia itu adalah Julia Angelia, gadis berkelahiran kota bersemboyankan “Bersinar” itu benar-benar membuat hati Rio terjatuh untuk kesekian kalinya. Rio mengakui bahwa ia sedang merasakan Dejavu kala melihat sosok Julia. Rio teringat akan seseorang yang telah menghiasi jiwanya beberapa tahun silam. Baginya, Julia adalah sosok wanita hasil metamorfosis dari Yunita Aldera, cinta pertamanya.
Semenjak pertemuan pertamanya dengan Julia, Rio dapat merasakan getaran cinta yang pernah ia rasakan dahulu ketika jiwanya berjumpa dengan Yunita Aldera. Pertemuan itu terjadi kala senja datang melukis langit di kota tercinta. Seusai sholat maghrib, Rio bersegera mengambil novel yang baru saja ia beli, Tembang Ilalang. Isi dari novel tersebut adalah perjuangan mendapatkan cinta dan kemerdekaan dalam bumi konflik, Indonesia pada masa-masa pre-freedom tahun 1930-an. Dan Rio selalu membayangkan sosok Asroel (dalam novel itu) yang memperjuangkan jiwa dan raganya demi mendapatkan kemerdekaan dan cinta dari seorang Roekmini. Dan Rio sendiri ingin sekali menggoreskan sejarah cintanya walau berada di bumi konflik.
“Kayaknya seru juga bukunya!” Ucap seorang gadis belia yang tiba-tiba menghampiri Rio. Rio belum berani bertatapan langsung dengan pemilik suara itu. Suaranya begitu merdu, seketika mengiang-ngiang dalam ingatannya. Diangkatkan wajahnya, kemudian mata mereka saling bertemu. Terdiam sesaat, petaang terus membayang meninggalkan berkas-berkas cahaya pada sepasang hati tersebut.
“Oh ya! Tembang Ilalang judulnya.” Rio jadi salah tingkah. Tidak seperti biasanya Rio menjadi seperti orang yag terkena stroke ketika berhadapann langsung dengan lain jenis. Tapi sosok perempuan ini sangat berbeda dengan yang lain. Gadis belia itu duduk dan menghampirinya dan berkata, “Kak, boleh kenalan gak?” Gadis itu mengulurkan tangannya kepada Rio tanda untuk berjabat tangan. Naluri lelaki Rio sangat memuncak, ia merasakan sangat nervous kala gadis itu mengajaknya berkenalan. Ditambah lagi, ingin berjabat tangan dengannya. Rio jadi salah tingkah untuk kesekian kalinya, benar-benar tak seperti biasanya. Hanya saja yang membedakan adalah sosok gadis bak bidadari yang datang menghampirinya dan begitu maniss bila dipandang. Rio sedari tadi merasa nervous mulai melawan rasa itu.
“Jangan panggil aku kak, panggil saja aku Rio. Itu sudah cukup.”
“Oh mas Rio ya?”
“Mas? Emang saya ini masmu apa?”
“Iya, masa kakak tidak boleh, mas tidak boleh. Lha terus gimana?”
“Iya tidak apa-apa deh. Adik namanya siapa?”
“Adek?”
“Iya, adik. Adikku.”
“Heh... panggil saja Julia, Julia Angelina”
“Nama yang cantik, secantik yang punya”
Seketika, pertemuan pertama itu menimbulkan berbagai rasa dalam kalbu, beribu asa langsung tertanam dalam sanubari. Rio yang biasanya tertutup, tiba-tiba saja menjadi pribadi yang periang semenjak kejadian itu. Mulai dari saat itulah Rio bisa merasakan guncangan rasa yang hampir saja merobohkan dinding hatinya. Fall in love...
Hujan masih mengguyur bumi pertiwi. Makin lama hujan tak lagi berkutik, tak turun dan mulai reda. Rio memandang ke depan ke arah masjid, tempat pertama kali ia bertemu dengan bidadari di hatinya. Dan di tempat itu pula ia akan mengungkapkan isi hati yang selama ini ia pendam. Tepatnya hari ini adalah hari yang spesial baginya. Yaitu hari ulang tahun Julia tanggal 25 Mei. Bagi Rio, Julia adalah sosok yang begitu ia kagumi. Dari pribadinya yang begitu sederhana, menggemaskan, imut, serta tak mau merepotkan orang lain dalam segala hal dan keadaan. Maka dari sinilah rasa cemas Rio menjulang tinggi bagai Mount Everest. Apakah Julia menerima hadiah darinya? Atau akan disia-siakan begitu saja? Hanya hati Julia lah yang dapat menjawab semua itu. Karena ini merupakan bentuk kerepotan diri baginya. Tapi Rio membawa hadiah berupa kalung hati dan ingin menyerahkan kepada Julia dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu apapun darinya. Sungguh ini adalah bentuk pengorbanan cinta sang Rio kepada Julia. Dan rasa cemas itu selalu datang menghalangi di setiap langkah Rio.
Lantunan adzan Maghrib saling sahut-menyahut menyambut petang yang mendung serta malam yang kelam. Kini rasa cemas Rio kian membuncak naik. Sedari tadi ia belum melihat sosok Julia. Ia hanya melihat Maharani, teman sekaligus tetangga dekat Julia. “Rani!” begitu ia memanggilnya. “Julia tidak ikut jama’ah, Ran?” Tanya Rio khawatir. “Paling sebentar lagi datang” Jawab Rani yang sudah bisa menebak perasaan Rio. “Jangan terlalu khawatir, kak. Aku sudah mengingatkan bahwa hari ini adalah hari special day untuknya” lanjut Rani.

“Jadi Rani sudah tau kalau aku akan memberikan surprize pada Julia?”
“Kan Julia bilang kepadaku, tapi dia tidak mau merepotkan kakak, dia mungkin tidak suka akan hal itu”
 “Tapi aku ikhlas”
“Ya kalau begitu, kakak langsung ngomong saja pada orangnya. Tuh orangnya datang” Lanjut Rani.
Deg, jantung Rio berdegup cepat. Rasa cemas, khawatir, dan gugup menjadi satu dalam jiwa sang Rio pada saat itu. Seakan lidahnya terasa kelu. Mulutnya terasa dikunci mati. Tubuhnya seakan tak bergerak lagi. Darahnya mengalir deras tak terkendali. Ini adalah rasa yang pernah ia temui pada awal bertemu, dan sekarang terulang kembali.
Mata Rio melirik takut ke arah Julia. Takut bilamana pandangan mereka saling bertemu. Ia seakan tak ingin membuat Julia kecewa malam ini, karena ia akan meluapkan seluruh isi hatinya. Tapi karena mendung yang mengganggu inilah membuat hati Rio tambah gelisah.
“Ran bolehkah kamu membantuku?”
“Aku siap demi kebaikan kakak dan Julia” Jawab Rani tegas.
“Serius ya, jadi aku harap kamu bisa menemani Julia selama aku berbicara dengannya”
“Maksudnya jadi obat nyamuk gitu?”
“Bisa dikatakan begitu dan yang terpenting adalah kamu harus bisa memahamiku”
“Aku akan berusaha” Jawabnya singkat.
 “Julia, bolehkan aku berbicara sesuatu denganmu?”
“Aku tidak punya banyak waktu dan aku harap bisa secepat mungkin”
“Kenapa, Julia? Ada yang salah denganku?”
“Maaf mas, sebentar lagi sholat maghrib akan dilaksanakan”
“Baiklah kalu begitu, lebih baik habis sholat Isya saja ya, aku tunggu di perempatan jalan.”

“Iya” Jawabnya.
Di perempatan tempat Rio telah melukis janji, ia menunggu Julia. Lama sekali ia tak memandang sedikitpun akan hadirnya Julia. Rintik hujan mulai turun perlahan, perlahan, dan deras. Tubuhnya diguyur air hujan. Sempat ia merasa kecewa karena sosok Julia tidak menepati janjinya. Rio memutar halauan dan mulai melangkahkan kakinya untuk pergi dari ttempat itu. Rio memalingkan wajahnya untuk memandang langit. Malam kelam yang tak berbintang. Tiada secerca harapan baginya. Julia, sosok yang selama ini mendamba dirinya, kini telah membekaskan rasa kecewa pada dirinya. Langkah kakinya terhenti.
“Mas Rio!”
“Julia... akhirnya kamu datang juga”
“Iya mas, maaf ya aku terlambat”
“Tidak apa-apa, Julia. Aku ingin memberikan sesuatu untukmu”
Dikeluarkannya kalung berliontin hati yang telah terbungkus kotak kecil tetapi telah bercampur dengan air hujan.
“Aku mohon, terimalah ini. Kenang-kenangan untukmu. Selama ini aku telah menyimpan suatu rasa padamu, Julia. Aku mohon terimalah hadiah ini dariku”
“Mas Rio, aku sangat menghargaimu... terima kasih untuk semua ini, Mas. Aku terharu”
Rio memeluk Julia. Cahaya temaran lampu perempatan jalan dihiasi oleh curahan hujan tiada henti. Semua terdiam, membiarkan suara rintikan hujan mendesah di atas tanah. Hujan setia menemani sampai detik terakhir episode perjalanan pada jalan panjang impian yang mulai mekar.

Surabaya, 14 Mei 2013
Penulis



Annisa Miftakhul Janna

X-6 / 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar