۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..
|
Rintikan hujan masih membasahi bumi pertiwi. Bau tanah makin menusuk indra penciuman manusia. Sambil merebah asa diiringi temaran langit kelam di ujung angkasa. Seorang diri berjalan menepaki arah jalan sepi nan basah di batas bumi pertiwi yang asri lagi indah, seindah hati yang ingin ia temui. Hanya saja gerimis kecil itu menghambat lembaran lencana yang ia rangkai dalam memori ingatannya yang sebatas jua. Padahal, sebentar lagi dunia akan didatangi malam tak berbintang, hanya karena kuasa cuaca yang tidak mendukung. Hati seorang diri itu kian diselimuti atmosfer kecemasan yang begitu tebal dan hampir-hampir ia ditikam oleh asa dalam harap saat rasa tersebut ia bendung.
“Mudah-mudahan
bisa berjalan sesuai rencana..” Batinnya.
Seorang
itu adalah Rio Fauzan, sesosok manusia polos yang seakan terlihat seperti anak
kecil karena baby face yang ia
miliki. Begitu polos tak ayalnya seperti aktor cilik pada film Home Alone yang biasanya diputar pada
saat menjelang tahun baru. Sambil melantunkan lagu sya’ir anak band yang sedang
naik daun di kalangan pelajar, ia masih berjalan menembus rintikan anak hujan
di petang tak berirama.
“Harus ku akui....
Sulit cari
penggantimu....
Yang menyayangku”
Sepanjang
jalan, Rio masih melantunkan sya’ir lagu itu, berharap apakah yang ia ucapkan
akan segera terjadi. Entahlah. Memang, sudah lama Rio memendam rasa itu
tepatnya pada saat ia pertama kali bertemu dengan gadis belia bak bidadari di
Surabaya. Selayaknya orang psikolog ulung yang langsung bisa menebak karakter
seseorang dengan tatapan matanya, Rio langsung bisa menebak isi hati yang ia
temui, dan itu telah terbukti. Sosok gadis
belia itu adalah Julia Angelia, gadis berkelahiran kota bersemboyankan
“Bersinar” itu benar-benar membuat hati Rio terjatuh untuk kesekian kalinya. Rio
mengakui bahwa ia sedang merasakan Dejavu
kala melihat sosok Julia. Rio teringat akan seseorang yang telah menghiasi
jiwanya beberapa tahun silam. Baginya, Julia adalah sosok wanita hasil
metamorfosis dari Yunita Aldera, cinta pertamanya.
Semenjak
pertemuan pertamanya dengan Julia, Rio dapat merasakan getaran cinta yang
pernah ia rasakan dahulu ketika jiwanya berjumpa dengan Yunita Aldera.
Pertemuan itu terjadi kala senja datang melukis langit di kota tercinta. Seusai
sholat maghrib, Rio bersegera mengambil novel yang baru saja ia beli, Tembang
Ilalang. Isi dari novel tersebut adalah perjuangan mendapatkan cinta dan
kemerdekaan dalam bumi konflik, Indonesia pada masa-masa pre-freedom tahun 1930-an. Dan Rio selalu membayangkan sosok Asroel
(dalam novel itu) yang memperjuangkan jiwa dan raganya demi mendapatkan
kemerdekaan dan cinta dari seorang Roekmini. Dan Rio sendiri ingin sekali
menggoreskan sejarah cintanya walau berada di bumi konflik.
“Kayaknya
seru juga bukunya!” Ucap seorang gadis belia yang tiba-tiba menghampiri Rio.
Rio belum berani bertatapan langsung dengan pemilik suara itu. Suaranya begitu
merdu, seketika mengiang-ngiang dalam ingatannya. Diangkatkan wajahnya,
kemudian mata mereka saling bertemu. Terdiam sesaat, petaang terus membayang
meninggalkan berkas-berkas cahaya pada sepasang hati tersebut.
“Oh
ya! Tembang Ilalang judulnya.” Rio jadi salah tingkah. Tidak seperti biasanya
Rio menjadi seperti orang yag terkena stroke ketika berhadapann langsung dengan
lain jenis. Tapi sosok perempuan ini sangat berbeda dengan yang lain. Gadis
belia itu duduk dan menghampirinya dan berkata, “Kak, boleh kenalan gak?” Gadis
itu mengulurkan tangannya kepada Rio tanda untuk berjabat tangan. Naluri lelaki
Rio sangat memuncak, ia merasakan sangat nervous kala gadis itu mengajaknya
berkenalan. Ditambah lagi, ingin berjabat tangan dengannya. Rio jadi salah
tingkah untuk kesekian kalinya, benar-benar tak seperti biasanya. Hanya saja
yang membedakan adalah sosok gadis bak bidadari yang datang menghampirinya dan
begitu maniss bila dipandang. Rio sedari tadi merasa nervous mulai melawan rasa
itu.
“Jangan panggil aku
kak, panggil saja aku Rio. Itu sudah cukup.”
“Oh mas Rio ya?”
“Mas? Emang saya ini
masmu apa?”
“Iya, masa kakak
tidak boleh, mas tidak boleh. Lha terus gimana?”
“Iya tidak apa-apa
deh. Adik namanya siapa?”
“Adek?”
“Iya, adik. Adikku.”
“Heh... panggil saja
Julia, Julia Angelina”
“Nama yang cantik,
secantik yang punya”
Seketika,
pertemuan pertama itu menimbulkan berbagai rasa dalam kalbu, beribu asa
langsung tertanam dalam sanubari. Rio yang biasanya tertutup, tiba-tiba saja
menjadi pribadi yang periang semenjak kejadian itu. Mulai dari saat itulah Rio
bisa merasakan guncangan rasa yang hampir saja merobohkan dinding hatinya. Fall in love...
Hujan
masih mengguyur bumi pertiwi. Makin lama hujan tak lagi berkutik, tak turun dan
mulai reda. Rio memandang ke depan ke arah masjid, tempat pertama kali ia
bertemu dengan bidadari di hatinya. Dan di tempat itu pula ia akan
mengungkapkan isi hati yang selama ini ia pendam. Tepatnya hari ini adalah hari
yang spesial baginya. Yaitu hari ulang tahun Julia tanggal 25 Mei. Bagi Rio,
Julia adalah sosok yang begitu ia kagumi. Dari pribadinya yang begitu
sederhana, menggemaskan, imut, serta tak mau merepotkan orang lain dalam segala
hal dan keadaan. Maka dari sinilah rasa cemas Rio menjulang tinggi bagai Mount Everest. Apakah Julia menerima
hadiah darinya? Atau akan disia-siakan begitu saja? Hanya hati Julia lah yang
dapat menjawab semua itu. Karena ini merupakan bentuk kerepotan diri baginya.
Tapi Rio membawa hadiah berupa kalung hati dan ingin menyerahkan kepada Julia
dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu apapun darinya. Sungguh ini adalah
bentuk pengorbanan cinta sang Rio kepada Julia. Dan rasa cemas itu selalu
datang menghalangi di setiap langkah Rio.
Lantunan
adzan Maghrib saling sahut-menyahut menyambut petang yang mendung serta malam
yang kelam. Kini rasa cemas Rio kian membuncak naik. Sedari tadi ia belum
melihat sosok Julia. Ia hanya melihat Maharani, teman sekaligus tetangga dekat
Julia. “Rani!” begitu ia memanggilnya. “Julia tidak ikut jama’ah, Ran?” Tanya
Rio khawatir. “Paling sebentar lagi datang” Jawab Rani yang sudah bisa menebak
perasaan Rio. “Jangan terlalu khawatir, kak. Aku sudah mengingatkan bahwa hari
ini adalah hari special day untuknya”
lanjut Rani.
“Jadi Rani sudah tau
kalau aku akan memberikan surprize
pada Julia?”
“Kan Julia bilang
kepadaku, tapi dia tidak mau merepotkan kakak, dia mungkin tidak suka akan hal
itu”
“Tapi aku ikhlas”
“Ya kalau begitu,
kakak langsung ngomong saja pada orangnya. Tuh orangnya datang” Lanjut Rani.
Deg,
jantung Rio berdegup cepat. Rasa cemas, khawatir, dan gugup menjadi satu dalam
jiwa sang Rio pada saat itu. Seakan lidahnya terasa kelu. Mulutnya terasa
dikunci mati. Tubuhnya seakan tak bergerak lagi. Darahnya mengalir deras tak
terkendali. Ini adalah rasa yang pernah ia temui pada awal bertemu, dan
sekarang terulang kembali.
Mata
Rio melirik takut ke arah Julia. Takut bilamana pandangan mereka saling
bertemu. Ia seakan tak ingin membuat Julia kecewa malam ini, karena ia akan
meluapkan seluruh isi hatinya. Tapi karena mendung yang mengganggu inilah membuat
hati Rio tambah gelisah.
“Ran bolehkah kamu
membantuku?”
“Aku siap demi
kebaikan kakak dan Julia” Jawab Rani tegas.
“Serius ya, jadi aku
harap kamu bisa menemani Julia selama aku berbicara dengannya”
“Maksudnya jadi obat
nyamuk gitu?”
“Bisa dikatakan
begitu dan yang terpenting adalah kamu harus bisa memahamiku”
“Aku akan berusaha”
Jawabnya singkat.
“Julia, bolehkan aku berbicara sesuatu
denganmu?”
“Aku tidak punya
banyak waktu dan aku harap bisa secepat mungkin”
“Kenapa, Julia? Ada
yang salah denganku?”
“Maaf mas, sebentar lagi
sholat maghrib akan dilaksanakan”
“Baiklah kalu begitu,
lebih baik habis sholat Isya saja ya, aku tunggu di perempatan jalan.”
“Iya” Jawabnya.
Di
perempatan tempat Rio telah melukis janji, ia menunggu Julia. Lama sekali ia
tak memandang sedikitpun akan hadirnya Julia. Rintik hujan mulai turun
perlahan, perlahan, dan deras. Tubuhnya diguyur air hujan. Sempat ia merasa
kecewa karena sosok Julia tidak menepati janjinya. Rio memutar halauan dan
mulai melangkahkan kakinya untuk pergi dari ttempat itu. Rio memalingkan wajahnya
untuk memandang langit. Malam kelam yang tak berbintang. Tiada secerca harapan
baginya. Julia, sosok yang selama ini mendamba dirinya, kini telah membekaskan
rasa kecewa pada dirinya. Langkah kakinya terhenti.
“Mas Rio!”
“Julia... akhirnya
kamu datang juga”
“Iya mas, maaf ya aku
terlambat”
“Tidak apa-apa,
Julia. Aku ingin memberikan sesuatu untukmu”
Dikeluarkannya kalung
berliontin hati yang telah terbungkus kotak kecil tetapi telah bercampur dengan
air hujan.
“Aku mohon, terimalah
ini. Kenang-kenangan untukmu. Selama ini aku telah menyimpan suatu rasa padamu,
Julia. Aku mohon terimalah hadiah ini dariku”
“Mas Rio, aku sangat
menghargaimu... terima kasih untuk semua ini, Mas. Aku terharu”
Rio
memeluk Julia. Cahaya temaran lampu perempatan jalan dihiasi oleh curahan hujan
tiada henti. Semua terdiam, membiarkan suara rintikan hujan mendesah di atas
tanah. Hujan setia menemani sampai detik terakhir episode perjalanan pada jalan
panjang impian yang mulai mekar.
Surabaya,
14 Mei 2013
Penulis
Annisa
Miftakhul Janna
X-6 / 07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar