Senin, 20 Oktober 2014

Surat Terbuka untuk Presiden Joko Widodo: Pentingnya Pembangunan Karakter dengan Revolusi Mental





Yth. Bapak Presiden Indonesia Periode 2014-2019,
Joko Widodo
di Jakarta

Assalamu’alaikum  wa rahmatullahi wa barakatuh

Pertama, saya, Annisa Miftakhul Janna (17tahun) mengucapkan selamat atas terlantiknya Bapak Jokowi sebagai Presiden RI periode 2014-2019. Semoga Bapak senantiasa diberi kesehatan, kemudahan, dan perlindungan oleh-Nya untuk membawa Indonesia menjadi negara merdeka dari luar dan dari dalam. Yaitu negara yang tidak hanya merdeka atas status negerinya, tetapi juga negara yang adil, jujur, makmur, dan sejahtera atas lindungan-Nya. Aamiin.

“Revolusi belum selesai!”

Kedua, bapak Presiden yang terhormat, cuplikan kalimat pak Karno tersebut mungkin terkesan klise bagi sebagian orang. Untaian tiga kata dari kalimat tersebut mungkin hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian orang yang hidup  pada era demokrasi sekarang ini. Walau demikian, saya tahu bahwa cuplikan tersebut mengandung berjuta pesan tersirat yang mungkin harus diperhatikan oleh saya dan puluhan ribu juta rakyat Indonesia. Bapak, saya sangat setuju dengan pendapat pak Karno bila revolusi belum selesai. Mengapa? Karena menurut saya, untuk menciptakan bangsa yang besar diperlukan tidak hanya sebatas revolusi-revolusi untuk cara pemerintahannya saja, tetapi juga diperlukan revolusi dalam diri yang harus dilakukan ‘setiap hari’. Dengan demikian, revolution has no age.
 
Ketiga, mengapa saya membuat surat terbuka untuk Bapak? Bapak Joko Widodo, saya membuat surat terbuka karena saya tertarik dengan salah satu misi Bapak, Revolusi Mental. Saya sangat tertarik dengan misi bapak yang satu itu karena sejalan dengan misi saya yang saya sebut ‘revolusi diri’. Saya menjalankan revolusi diri setiap hari karena saya ingin menjadi orang yang memiliki kepribadian yang prima, yaitu: kokoh secara spiritual, dewasa secara emosional, luas secara intelektual, serta kuat dan cerdas secara operasional. Dengan catatan, selalu berpegang teguh pada kuasa-Nya dan senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi.
Sebagai warga negara yang memiliki semangat juang abadi, saya tentu harus ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan misi tersebut. Perlu adanya pengorbanan secara disiplin-terus-menerus dalam diri untuk memulai dan melaksanakan. Saya bukanlah ketua umum OSIS terpilih yang bisa menggerakkan massa untuk mendukung misi Bapak. Tetapi saya memiliki evaluasi tersendiri untuk melatih aspek-aspek kepemimpinan dalam diri saya. Saya membuat revolusi diri dan saya juga melaksanakannya setiap hari. Alhamdulillah, dengan adanya misi yang berlaku setiap hari tersebut dapat membuat saya terbiasa dan perlahan-lahan mengubah pola pikir saya. Mungkin, apabila orang disekitar saya telah sadar akan tingkah laku saya, mereka akan termotivasi dan akhirnya mereka melakukan revolusi diri pada diri mereka. Setiap orang pasti ingin sukses. Apabila ingin sukses, maka diperlukan kepribadian yang terampil. Dan apabila mereka ingin menjadi orang dengan kepribadian terampil, maka mereka akan termotivasi untuk segera melaksanakan revolusi diri. Begitulah saya menyebarkan nilai-nilai tersirat yang patut dilaksanakan, dengan sikap. Sebab apabila hanya diucapkan dengan kata-kata, saya hanya sebatas ‘pembual’ di pikiran mereka. Saya biarkan mereka melihat, saya biarkan mereka perlahan mengubah mindset, dan kemudian saya biarkan mereka merubah diri dan masa depan.

Keempat, saya selalu ingat kata mutiara dari pak Karno, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Bangunlah mimpi setinggi langit. Sehingga apabila kau jatuh, kau akan jatuh di antara bintang-bintang.” Sebagai orang yang mempunyai mimpi, saya selalu berpegang teguh pada kata-kata beliau, Pak. Menurut saya, beliau merupakan sosok sejarah bangsa yang berbudi luhur. Saya pribadi bangga memiliki sosok bangsa bersejarah yang tulus mengabdi untuk negeri tercinta.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap orang pasti ingin sukses. Dan apabila ingin sukses, maka mereka akan merevolusi diri mereka agar berkepribadian yang terampil. Dalam melaksanakan Revolusi Mental, Bapak terinspirasi akan konsep Trisakti yang pernah diutarakan pak Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
Sebagai orang yang taat pada demokrasi dan sebagai orang yang cinta negeri, tiada alasan bagi saya untuk tidak berpartisipasi dalam misi Bapak. Bapak telah dipilih oleh rakyat. Ada yang mengatakan bahwa suara rakyat merupakan suara Tuhan. Maka sebagai rakyat, saya juga harus berpartisipasi penuh dalam kesuksesan visi dan misi Bapak untuk Indonesia. Mengingat kata demokrasi, jangan lupa, Pak. Bertanggung jawab kepada rakyat merupakan hal utama. Negara memiliki rakyat, Pak. Tiada rakyat, tiada pula negara. Menurut saya, maka semestinya pemilihan calon pemimpin yang terbaik dengan cara dipilih oleh rakyat secara langsung. Agar mindset calon pemimpin hanya mengingat tanggung jawab kepada rakyat. Secara tidak langsung, mindset tersebut mengantarkan pemimpin untuk selalu memperhatikan rakyatnya.

Akhir kata, semoga bapak Joko Widodo termasuk dalam deretan “pemimpin yang adil” sehingga dapat menuntaskan sistem yang telah Bapak susun sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga nanti berhak mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu Wata’ala di hari akhir. Saya berjuang, Bapak berjuang, semua berjuang karena untuk menuju Indonesia sukses maka harus memiliki arah dan satu tujuan sama yang diraih bersama-sama. Bismillahirrahmanirrahim untuk Indonesia jaya!

Atas perhatian Bapak, saya mengucapkan terima kasih.


Surabaya, 20 Oktober 2014

Annisa Miftakhul Janna




Senin, 06 Oktober 2014

Senja dalam Elegi

Tugas Bahasa Indonesia : Menulis Puisi



Senja dalam Elegi
Annisa Miftakhul Janna

Di ujung lembayung bermahkota jingga
Ku menatap megahnya langit yang tak bersuara
Hanya sebentar saja ku menatap langit
Namun ku tlah terjebak dalam gugusan awan jingga
Terlukis jelas bayangan samar
Tak seindah nyanyian camar
                        Awan mencapai titik jenuhnya
                        Cakrawala jingga mengiringi kepergiannya
                        Angin lirih…. Semerbah lirih…
Setitik air jatuh perlahan
Membiaskan kehampaan
Mengaliri sungai kehidupan
Dan berhenti di persimpangan
                        Bayangan semu
Melodi pilu
                        Mengharu biru
Segumpal rindu tak terdengar
Melayang di atas puing-puing keangkuhan yang menggelegar
Melayang…. Terbang…. dan menghilang…
Dunia telah didatangi langit tak berbintang

Minggu, 27 Juli 2014

Ramadhan Bergegas Pergi


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."






Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, selamat pagi/siang/sore/malam* pembaca setia teman-teman yang tidak sengaja nyasar ke blog saya. (*nb: coret yang tidak perlu) Kembali lagi bersama saya, Annisa Miftakhul Janna. Pada kesempatan kali ini saya mengucap syukur yang lebih karena Allah, karena atas ijin-Nya saya bisa menuntaskan artikel ini.

Alhamdulillah.


       Waktu sungguh cepat berlalu. Bila kita berjalan lurus, mungkin kita tidak menyadari akan suatu perubahan. Tapi coba sekarang tengok ke belakang, semuanya telah berubah. Mungkin sebagian dari kita memegang teguh bahwa diri kita tidak berubah alias sama saja, kita yang sekarang adalah kita yang dulu. Tapi coba lihat setelah selang waktu kalian menjalani kehidupan kalian, yet everything has changed.


       Waktu berjalan begitu cepat. Time flies like a jet. Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. Rasanya baru saja kita merasakan tarawih pertama, sahur pertama, tadarus pertama, tahajjud pertama, super-istiqomah-di-jalan-Allah pertama pada awal bulan suci Ramadhan ini. Namun sekarang lihatlah, kita semua hampir mencapai puncak bulan Ramadhan. Tak terasa, esok telah lebaran. Bulan Syawal akan menggantikan bulan Ramadhan.


       Pertama-tama saya ingin mengucapkan kepada teman-teman yang lagi membaca artikel ini,

 Taqoballahu minna wa minkum, wa shiyamana wa shiyamakum.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H.
Minal aidin wal faizin wal maqbulin.
Mohon maaf lahir dan batin.”



       Mungkin selama saya menulis, ada kata yang salah atau tidak sengaja menggambarkan kehidupan Anda. Itu semua dilandasi dengan unsur ke-tidak-sengaja-an. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Alhamdulillah, kita semua mulai dari 'Nol'.


       Kedua, saya ingin mengucapkan selamat tinggal pada bulan suci yang penuh berkah ini, bulan Ramadhan. Allah ya Rabbi, begitu cepat Ramadhan akan pergi meninggalkan kita. Sungguh tak ada perpisahan yang tidak menyesakan dada

“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan puasa wajib ini sebagai yang terakhir dalam hidup saya. Seandainya Engkau berketetapan sebaliknya, maka jadikanlah puasa saya ini sebagai puasa yang dirahmati bukan yang hampa semata.”

       Sang waktu kembali menunjukan kekuatannya. Bulan suci akan segera pergi, yang saya tahu hanyalah kerinduan yang tersisa. Menyisakan rindu akan shalat tarawih, rindu tausiyah para ustadz yang menyejukkan, rindu tadarrus Al-Quran di shaf-shaf dan pojok-pojok masjid, rindu segera menyelesaikan tilawah pada setiap akhir juz, rindu memperbanyak shalat-shalat sunnah; agar bisa bertemu Rasul, rindu menegakkan shalat malam, sahur dan berbuka puasa yang berbeda dari bulan-selain-Ramadhan, rindu berjuang untuk merasakan shalat khusyuk, i'tikaf, muhasabah, rindu melantunkan zikir sepanjang pagi dan sepanjang petang, rindu mereka yang berlomba menawarkan kebaikan, dan rindu berlomba bersedekah dengan umat Islam sedunia. Sebenarnya semua itu bisa dilakukan setiap hari, hanya saja...entah mengapa saat diiringi bulan Ramadhan, semua terasa berbeda. Jadi lebih giat. Dan tentunya bila berakhir, maka rindulah saya.

       Detik-detik terakhir yang penuh rakhmat sejak hilal 1 Ramadhan sampai fajar 1 Syawal, rindu malam-malam bertabur ampunan, rindu siang dan senja bertabur rakhmat dan kasih sayang Allah, rindu malam-malam tanpa setan yang dibelenggu, rindu malam istimewa seribu bulan pembakar dosa. Allaahuakbar, sungguh besar kuasa-Mu. Sesungguhnya hamba sangat kagum akan kuasa-kuasa-Mu yang sangat Agung.


       Yang ketiga, saya ingin berbagi cerita akan hikmah puasa Ramadhan saya tahun ini, semoga bisa menjadi suri tauladan. Puasa Ramadhan tahun ini mengajarkan kepada saya arti dari sebuah kesabaran, selalu bersyukur, dan keikhlasan.

       Saya akui, saya lebih senang menyendiri. Ya. Orang yang sendiri seperti saya...tidak memiliki sahabat. Bisakah Anda merasakan apabila Anda tak memiliki sahabat? Ya, itulah yang saya rasakan sekarang. Mungkin ibu saya selalu mendoakan agar nilai saya selalu baik, mungkin beliau lupa mendoakan saya agar saya tidak selalu merasa sendirian. Tetapi, no problem, saya tidak terlalu memikirkan hal itu. Saya tidak benar-benar sendiri di dunia ini. Alhamdulillah, saya masih punya Allah. Dialah satu-satunya pelitaku. Allah, hamba sungguh mencintai-Mu.
       Disaat saya terpuruk dalam masalah hidup, Allah lah yang selalu menyadarkan saya untuk tidak terlalu terbawa dalam dunia yang fana, karena akhiratku tidak membutuhkan itu. SubhanAllah... Alhamdulillah, Allah selalu bersama saya. Disaat teman-teman saya menghina saya, astagfirullahaladzim... Bila rasanya dihina seperti ini, aku berdoa kepada Allah agar Allah senantiasa menjaga lisan dan perbuatanku, agar tak sedikitpun saya menghina dan menyakiti perasaan orang lain. Saya berdoa agar mereka tidak merasakan betapa sakitnya dihina. Selama ini, Allah selalu menyadarkanku untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan seperti dalam peringatanNya kepada Nabi Muhammad. SubhanAllah, terima kasih yaAllah engkau telah menurunkan Al-Qur'an sehingga kami semua tidak tersesat.
       Allah lah yang selalu menemani dikala saya berdzikir, dikala saya bersujud ketika tiada bahu seorang sahabat untuk tempat bersandarnya kepala, Allah juga yang selalu menemani dan selalu ada disaat saya sudah tak kuasa menahan kesedihan sehingga jatuhlah nestapa ini. Allah lah yang menjadi alasan untuk bersabar, saya bersabar dan ikhlas karena-Nya. Allah selalu menemani kehidupanku yang sederhana, yang makin sederhana ketika fitnah menerpa keluargaku sehingga berubahlah keadaan kami. Saya yang semakin sengsara. Keluarga yang semakin hancur. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un... Keluarga kami tak seperti dulu lagi. Allah, hamba tahu Engkau selalu ada, Engkau Maha Adil, Engkau tak melihat hamba-hamba-Mu dari segi materi. Allah lah yang selalu menuntun saya untuk bersabar. Alhamdulillah atas kuasa Allah, rezeki selalu datang tanpa terduga. Saat saya naik ke kelas XII, saya sadar akan tanggung jawab yang akan saya pegang teguh. Saya akan mengangkat derajat kedua orang tua saya kembali. Allah...jika Engkau mengijinkanku...ijinkanlah hamba agar dapat mengabdi pada kedua orang tuaku, hamba sungguh mencintai keduanya. Tiada lagi biaya seperti dulu, saya sadar bahwa saya harus benar-benar bekerja keras. Sabar, ikhlas, dan selalu meninggalkan jejak-jejak rasa syukurku. SubhanAllah, inikah buah dari kesabaran, ya Allah? Tiba tawaran untuk mengikuti bimbingan belajar lagi, Allaahuakbar, kesabaran yang kutanam tidak sebanding dengan hasil yang bisa saya petik. Saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
       Allah, hamba tahu bahwa kehidupan dunia ini hanya hiasan, hamba tidak terlalu memikirkan urusan dunia, tapi hamba selalu memikirkan kebahagiaan orang lain. Setidaknya hamba ingin berguna untuk orang lain sehingga terdapat senyum pada wajah mereka, bila Engkau ijinkan hamba, hamba akan mengabdi sepenuhnya pada orang tua, agama, bangsa, negara, dan masyarakat. Atas ijin-Mu aku berjuang, dan atas karunia-Mu aku Engkau beri semangat. Kelak... Pakaikanlah mahkota di atas kepala kedua orang tuaku, ya Rabb.

       Alhamdulillah, saya mendapat hikmah untuk 'lebih' sabar, ikhlas, dan selalu bersyukur.

      La tahzan, innAllaha ma'ana. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Tak usah memikirkan urusan dunia yang merepotkan, karena dunia tidak memikirkanmu. Dunia ini fana, Akhiratlah yang kekal. Perbanyak bekal untuk akhiratmu. Apabila dunia ini hanya persinggahan, lalu mengapa kita tak perbanyak bekal untuk kehidupan yang selanjutnya?

“Lihatlah ke atas untuk berdoa dan belajar akan sesuatu hal yang baru, lihatlah ke bawah untuk rendah hati dan senantiasa bersyukur, dan lihatlah sekeliling untuk bernalar dan beradabtasi.”

Semoga bermanfaat untuk diambil hikmahnya.


       Yang keempat, untuk teman-teman khususnya yang beragama Islam...
Semoga semua amal dan ibadah kita diterima oleh Allah SWT. (aamiin...)
Semoga bila Allah menghendaki, kita akan dipertemukan kembali dengan bulan suci Ramadhan tahun depan. (aamiin aamiin aamiin ya Rabbal alaamiin...)
Semoga ibadah kita pada bulan ini diterima oleh Allah, dan kedepannya kita selalu ingat untuk beribadah karena Allah Ta'ala. (aaaamiiiin...)
Semoga kita semua dapat memetik hikmah dalam puasa Ramadhan kita tahun ini, dan menjadikannya suri tauladan untuk sekarang dan masa depan. (aamiin)

       SubhanAllah... Allah selalu memberi petunjuk kepada kita semua, tinggal kitanya saja; mau atau tidak memegang teguh hikmah yang telah diberikan kepada kita. Semoga saja kita bisa menjadikan hikmah tersebut menjadi suatu bekal hidup pada tahap kehidupan kita yang selanjutnya. (aamiin...)


      Terima kasih yang sebesar-besarnya.
Sekali lagi, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 H, Mohon Maaf Lahir & Batin. Semoga semua amal&ibadah kita senantiasa diterima oleh Allah SWT.
Al-Fatihah...
Aamiin..

Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.


-Annisa Miftakhul Janna








Selasa, 01 Juli 2014

Guratan Bisu untuk Pak Karno


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..






Surabaya, 1 Juli 2014


Yang Paling Terhormat,
Bapak Ir. Soekarno
di tempat yang paling indah di sana,
di sisiNya


       Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

MERDEKA!
MERDEKA!
MERDEKA!

       Bapak Ir. Soekarno yang paling saya kagumi, semoga keadaan bapak di sisiNya sekarang sampai hari itu tiba selalu bahagia karena mendapat tempat yang nyaman, Pak.
       Pak Karno, saya hanyalah seorang pelajar berumur 17 tahun yang ingin mengirim pesan sederhana ini untuk Anda. Saya hanya seorang pelajar yang tengah mencari ilmu yang akhirnya akan diabdikan kepada bangsa, agama, dan masyarakat. Saya tahu, surat ini nantinya akan membisu. Biarlah yang membisu tetap membisu.
       Pak Karno, bapak proklamator kami... Bapak proklamator bangsa Indonesia, bangsa KITA. Bapak Presiden pertama negara kami, Republik Indonesia. Bapak pahlawan bangsa. Dan...pahlawan bagi saya. Dengan beribu hormat saya tujukan kepada Anda. Pertama-tama saya ingin mewakili seluruh warga Indonesia untuk berucap banyak terima kasih, Pak. Mengapa banyak? Karena....ucapan itu tak terhitung berapa nilainya, Pak. Terima kasih karena pak Karno telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang utuh dan merdeka. Terima kasih karena pak Karno telah mengorbankan separuh umur Anda untuk ditahan untuk kemerdekaan bangsa ini. Terima kasih atas kesediaan Anda untuk hancur dan menderita demi kesatuan bangsa kami, Pak. Terima kasih atas segala tindakan-tindakan berjasa besar Anda untuk mengabdi kepada Nusa dan Bangsa, Pak. Sungguh, Anda telah mendapatkan tempat yang layak di sisiNya, Pak.
       Hal yang kedua yang ingin saya sendiri sampaikan kepada bapak adalah mengenai curahan hati saya kepada Indonesia yang sekarang ini, Pak. Pak Karno...pahlawan ploklamator yang sangat bersejarah, yang sangat saya kagumi akan jasa-jasanya...saya sangat kecewa dengan keadaan negeri yang sekarang ini. Orang-orang di sana haus akan kedudukan yang tinggi, haus akan kepemimpinan. Banyak fitnah dimana-mana. Semuanya saling menjatuhkan. Semuanya saling tuding-menuding. Kampanye hitam dimana-mana. Tiada niatan dalam hati kecil mereka untuk memimpin Indonesia atas dasar 'rasa cintanya kepada negeri'. Berdasar rasa ingin TULUS mengabdi kepada negeri. Tiada sosok seperti Anda...yang rela melepas jabatan agar Indonesia tetap bersatu. Walaupun saya hanya bermodal membaca dari berbagai media, perjuangan bapak yang sangat besar selalu dapat saya rasakan, Pak. Saya bisa merasakan kehancuran bapak saat 'itu'. Saya menangis membaca kata demi kata pada media tersebut. Pengorbanan bapak pada negeri ini sungguh tak akan ada yang bisa menandinginya, Pak. Negeri ini telah rindu akan sosok seperti bapak, rindu akan sosok yang bernasionalisme tinggi. Yang benar-benar mengabdi kepada negara ini, Republik Indonesia. Saya miris, Pak. Saya miris bila melihat tayangan media massa yang saling jatuh-menjatuhkan satu sama lain. Melihat saluran ini, menjatuhkan yang itu. Melihat saluran itu, menjatuhkan yang ini. Belum lagi berita kampanye hitam pada sosial media, surat kabar, majalah tanpa redaksi, video-video kontroversi, dan yang lain yang membuat miris.
       Negara ini telah merdeka, Pak. Maka tugas kamilah yang membuat negeri ini terus merdeka atas aspek-aspek di dalamnya. Pak Karno...umur saya memang masih 17tahun, saya lahir tahun 1997. Memang benar, saya belum pernah melihat sosok bapak secara asli. Tapi, Pak...saya sangat mengagumi bapak. Saya ingin menghaturkan salam terhormat saya pada sesama untuk bapak, setelah salam terhormat saya pada Tuhan dan orang tua saya. Andai saja saya bisa bertemu langsung dengan Anda.
       Pak Karno, pahlawan besar yang telah menghentikan derita rakyat karena dijajah, pahlawan besar yang telah menyatukan hati seluruh bangsa...saya selalu mendoakan bapak agar seluruh pengorbanan dan pengabdian bapak pada bangsa yang tak terbalas di dunia, terbalas di alam sana oleh Allah SWT. Walau di dunia bapak tak mendapat balasan atas jasanya orang besar seperti bapak, biar Allah saja, Pak..yang membalasnya. Dunia di sana kekal abadi. Saya selalu mendoakan agar bapak mendapatkan tempat yang layak di sana.


       Saya sadar, Pak. Bahwa bapak tak akan pernah membaca surat ini. Saya membiarkan surat sederhana yang bisu ini tak akan terbaca oleh Anda. Biarkan tangisan saya ini menjadi saksi bisu akan betapa hormatnya saya kepada Anda. Akan betapa kagumnya saya kepada pengabdian tulus berdasar kecintaan bapak terhadap bumi pertiwi ini, Pak. Satu keinginan saya, Pak.. Indonesia bersatu dalam damai. 

Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh





Dengan hormat,



Annisa MJ








Selasa, 10 Juni 2014

Menghargai Perasaan Orang Lain


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..





       Belakangan ini, saya banyak menemukan orang-orang yang suka berbicara asal. Kata-kata yang mereka lontarkan seringkali tidak mereka pikirkan terlebih dahulu. Karena tidak pandainya memilih kata dan kalimat yang baik sehingga yang keluar adalah kalimat yang menyakitkan sehingga membuat orang tersinggung.


       Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas topik akan pentingnya menjaga perasaan orang lain. Mungkin sebagian orang seringkali merasa sakit hati akan perkataan-perkataan yang menyebalkan. Dan sebagian orang lagi memilih untuk bersikap acuh. Tetapi, alangkah baiknya apabila kita menjadi orang yang baik dan memikirkan perasaan orang lain terlebih dahulu.




MENGAPA PERLU MEMBIASAKAN DIRI UNTUK MENGHARGAI PERASAAN ORANG LAIN?


       Setiap hari kita bertemu dan berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai kekurangan dan keterbatasan. Baik mereka yang memiliki keterbatasan secara fisik, memiliki status sosial yang rendah, atau kekurangan2 yang lain seperti merasa kurang cantik, kurang pintar, kurang menonjol, dan bermacam-macam orang dengan berbagai karakter. Pada saat itulah kita perlu belajar bagaimana kita menghargai perasaan orang lain dam membuatnya merasa nyaman dengan segala keterbatasan, kekurangan, dan keberadaannya tersebut.




       Menghargai perasaan orang lain mungkin hal yang sederhana tapi bisa mengakibatkan hal yang sangat positif bagi orang yang menerimanya. Apabila kita tidak membiasakan diri untuk menghargai perasaan orang lain, kemungkinan besar akhlak yang kita lakukan akan terbalas di kemudian hari. Sebagaimana contoh dari kehidupan sehari-hari perilaku yang kurang menghargai perasaan orang lain yaitu tertawa bila teman kita merasa kesusahan, ataupun kasus-kasus bullying di kalangan-kalangan tertentu. Coba renungkan, tahukah kalian jika orang yang kelihatannya begitu tegar hatinya sebenarnya merupakan orang yang sangat lemah dan sangat membutuhkan pertolongan? Tahukah kalian jika orang yang menghabiskan waktunya untuk melindungi orang lain justru adalah orang yang sangat butuh seseorang untuk melindunginya?

       Sebagaimana kita tahu dalam Al-Quran,

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”(QS: Al-Zalzalah 7-8).

       Yang berarti apapun yang kita lakukan, pasti akan balasannya akan sesuai perlakuan kita. Seringkali kita tertawa tanpa mengetahui bagaimana perasaan orang yang sedang kita tertawakan. Jika dianalogikan, kita yang sedang tertawa merupakan golongan orang yang berada di atas. Sedangkan orang yang kita tertawakan merupakan golongan orang yang berada di bawah. Saya menganalogikan seperti ini karena orang yang berada di atas tidak selalu 'di atas' secara materi, tetapi juga kadar perasaan yang sedang dirasakannya. Begitu juga analogi tentang perasaan orang yang ditertawakan, berada di bawah sesuai dengan kondisi perasaan yang sedang dirasakannya.

       Sekarang seperti ini, hubungan 'analogi yang saya berikan' dengan 'setiap perbuatan kita lakukan akan mendapat balasan' adalah apabila sekarang kita sedang 'di atas' tanpa memikirkan perasaan-perasaan orang yang berada 'di bawah', maka kita termasuk golongan orang-orang yang egois. Sebagian orang menyadari bahwa setiap orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Sementara sebagian orang lainnya tidak menyadari bahwa setiap orang memiliki masalahnya sendiri-sendiri.

       Orang yang menyadari bahwa setiap orang memiliki jalan kehidupannya sendiri akan terbiasa menyebarkan naluri penalaran akan perasaan orang-orang di sekitarnya dan belajar untuk menghargainya. Berbeda dengan orang yang tidak mau tahu, orang itu akan tumbuh sebagai orang-orang yang selalu menyesal. Karena tidak membiasakan diri untuk sesekali merasakan apabila mereka sedang 'di bawah'. Padahal kita tahu bahwa orang yang sekarang 'di atas' tidaklah selalu di atas, kemungkinan besar suatu saat Tuhan merubah takdir mereka menjadi orang yang 'di bawah'. Dengan kata lain, orang yang sekarang tertawa pasti suatu saat akan ditertawakan. Apabila mereka tertawa tanpa belajar bagaimana rasanya menjadi orang yang ditertawakan, maka kedepannya apabila suatu saat mereka ditertawakan, mereka akan sulit dan tak terbiasa merasakan bagaimana rasanya ditertawakan.




       Menjaga perasaan orang lain adalah seni tersendiri yang harus dipuyai dalam menikmati kehidupan ini. Tidak bisa dipungkiri dalam proses interaksi kita dengan orang lain termungkinkan terdapat hal-hal yang tiada kita sukai. Jangan sampai kita terpedaya oleh godaan nafsu yang cenderung menginginkan kita mengambil sikap balas menyakiti. Kita dianjurkan bersabar, menjaga lisan, dan menampilkan akhlak mulia.

Rasulullah bersabada,

“Barangsiapa menjaga dari kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya, dan laglagnya, niscaya ia akan terjaga dari kejahatan seluruhnya.”(HR. Ad Dailami).


Yang dimaksud qabqab adalah perut, Dzaabdzab adalah kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.

       Maka tampaknya adalah menjadi wajib bagi siapapun yang ingin membersihkan hatinya, mengangkat derajatnya dalam pandangan Allah Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan terhindar dari bala bencana, untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya. Aktivitas berbicara bukanlah perkara panjang atau pendeknya, tapi berbicara adalah perkara yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.





LALU, BAGAIMANA CARA KITA MENGHARGAI PERASAAN ORANG LAIN?


       Dalam ukhuwah islamiyah kita diajarkan untuk saling menjaga perasaan. Adapun kiat untuk menjaga perasaan orang lain dalam pergaulan itu diantaranya adalah:

1. Adamus Sukriyah (Tidak Mengolok-olok)

       Menghargai orang lain berarti tidak merendahkan derajatnya di depan umum. Menghina atau mengejek orang lain dapat membuat ia sakit hati. Hindari menggunakan kata-kata yang menyakiti perasaan orang lain.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki- laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS: Al-Hujurat:11)


 2. Husnudzon (Berbaik Sangka)

       Menjadi orang yang berbaik sangka adalah salah satu sikap untuk memelihara ukhuwah, bila sikap buruk sangka yang tertanam dalam hati maka akan mencurigai sesama.

Sebagaimana tertulis dalam firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangkaan itu dosa.” (QS: Al-Hujurat 49:12)


 3. Adamut Tajasus (Tidak Mencari Kesalahan)

       Kita punya lima jari pada tangan, dikala kita menunjuk orang dengan satu telunjuk maka empat jari berikutnya menunjuk diri kita sendiri, demikian sebuah ungkapan yang disampaikan agar kita tidak mudah menunjuk kesalahan orang lain.


4. Ijtinalul Ghibah (Meninggalkan Gunjingan)

       Apa yang dikatakan seseorang tentang orang lain tanpa bukti merupakan menggunjing. Alangkah baiknya kita menghindari sesuatu yang menjebak kita. Menjebak kita dalam lingkaran hitam. Janganlah kita terperangkap untuk menilai orang lain negatif tanpa satupun bukti nyata. Ingatlah keburukan diri sendiri dan berintrospeksilah sebelum mengemukakan kejelekan orang lain.


5. Bersikap Ramah dan Adil

       Bersikaplah ramah&adil pada semua orang tanpa terkecuali. Tanpa mendeskriminasi asal, karakter, latar belakang, dll. Ingat, negara kita bersemboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' berbeda-beda tetapi tetap satu jua.


6. Jangan Memaksa Orang Lain

       Menghargai orang lain adalah menghormati hak asasinya. Hindari memaksa atau melakukan intimidasi terhadap orang lain agar melakukan sesuatu yang diluar wewenang Anda.


7. Sensitif Terhadap Perasaan Orang Lain

       Adakalanya pembicaraan atau perbuatan anda dapat menyinggung perasaan orang lain meskipun anda tidak bermaksud demikian. Berlaku sensitif terhadap perasan orang lain menghindarkan anda untuk membicarakan atau berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain.





       Dari situ, Anda dapat pelajaran tentang pentingnya mengahargai, menghormati orang lain meski dia memiliki kekurangan. Bukankah bila kita menghormati orang lain niscaya kita juga akan dihormati juga? Lagipula tak ada ruginya bila kita menebarkan sedikit kebaikan dengan cara menghargai, menghormati persaan orang lain, agar tak ada benih benih kebencian di benak dan lingkungan tempat tinggal kita. 


Testimoni:
 
v  “Alasanku buat menjaga perasaan orang lain itu cuma ga mau cari masalah. Lebih baik diam dan ga ikut campur masalah orang lain. Toh kita juga gatau kan masalah orang lain itu seperti apa. I’d rather sit there quit and choose not to ‘have a finger in a pie’. Kalau misal orang itu butuh bantuan, ya aku akan berusaha untuk menghibur & bikin dia tenang… kalau orangnya percaya ke aku, sih.”

v  “Gamau, ah! Entar yang ada malah jadi boomerang buat kita yang menghargai perasaan orang lain, lagi! Ntar kebaikan kita malah dimanfaatkan! Kan ga mau!”



Nah, jika Anda mau memilih… Pasti Anda akan lebih memilih Testimony 1. Berarti Anda termasuk golongan orang-orang yang mau mengerti perasaan orang lain.  Menebarkan kebaikan itu pasti ada balasannya, kok. Serahkan semua kepada Allah. Semua kebaikan yang kita lakukan tentu atas ijin-Nya. Insha Allah kebaikan kita bermanfaat bagi semua orang. Soal orang lain yang ga menghargai perasaan kita, ya kita harus tetap berbuat baik ke orang itu. Yang penting, kita sudah menebar kebaikan. Sifat mereka ya sifat mereka sendiri. J J J 



Semoga bermanfaat. Jangan lupa untuk selalu menjaga kebaikan pada semua orang, ya! J

Wasalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh ..


-Annisa Miftakhul Janna


Jumat, 06 Juni 2014

Terima Kasih Untukmu, Mas



۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..








       Malam hampir larut, suara detik jam semakin jelas terdengar menguasai ruang. Aku yakin, orang-orang yang telah beraktivitas penuh sudah menelentangkan tubuhnya. Mulai mengistirahatkan pikiran. Waktu tidak akan berbicara banyak, ia hanya diam dan terus melangkahkan kakinya. Ia tak akan pernah berbalik arah, berjalan mundur, atau sedikit menengok ke belakang.

       Untuk mas R, terima kasih atas jam tangan pemberianmu, Mas. Dengan pemberianmu ini, aku jadi 'lebih' menghargai waktu. Apakah Mas R masih ingat jam tangan pemberianmu waktu aku berulang tahun ke 17? Mas memberikannya pada tanggal 28 Mei 2014...telat 3 hari setelah ulang tahunku, 25 Mei 2014. Awalnya, aku begitu kecewa, Mas. Karena kupikir kau tak mengingat hari ulang tahunku. Tapi ternyata....kau ingat.



       Ternyata kau telah sekongkol dengan temanku. Temanku mengetahui bahwa kau akan memberiku hadiah. Temanku juga mengatakan bahwa kau telah menyiapkan hadiah itu seminggu sebelum aku berulang tahun. Aku sangat terkesima, Mas. :'). Andai Mas tahu, bagiku hal ini sangat istimewa. Buatku, pemberianmu ini manis. Ternyata aku telah salah menilaimu, kukira kau tak peduli denganku dan saat aku mendengar kata-kata dari temanmu yang tentunya tak ingin kudengar, tanggal 19 Mei lalu. Sungguh aku minta maaf, Mas.

       Tanggal 26 Mei kau mengirimkan aku sebuah pesan untuk mengajakku bertemu di tempat kau memberiku sekotak Bakpia Jogja saat aku hendak pergi Olimpiade Kimia, 1 April 2014. Ya, di UKS. Entah mengapa sekarang tempat itu menjadi tempat kenangan bagiku. Awalnya aku bingung, apakah kau ingat akan ulang tahunku.

       Aku ingat saat kau menungguku di ruang itu. Jantungku rasanya berdetak tak beraturan saat aku duduk di depanmu. Membuka pembicaraan dengan menanyakan kabarku. Lalu aku bertanya mengapa kau berniat untuk menemuiku.
"Yo gapopo to. Wes suwi pisan gak tau ketemu awakmu."
("Ya tidak apa-apa kok. Sudah lama juga gak pernah ketemu kamu.") Jawabmu. Masih dengan khas logat Jawamu.

       Saat itu aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan, aku bertanya banyak tentang hasil SNMPTN-mu. Meskipun kau jawab seadanya. Aku menebak kau keterima dimana, tebakanku pertama salah... Bukan di ITS, lalu aku menanyakan padamu,

"Kalau di UNAIR ada gak jurusan Teknik Lingkungan, Mas?"

"Iya, itu."

"Pasti Mas keterima di situ."

Kau hanya tersenyum, dan aku mengartikan senyummu dengan jawaban "iya".


       Perkataan demi perkataan terlewati. Walau bagiku, aku tahu itu hanya sekedar basa-basi belaka. Aku berusaha agar menjadi sedikit dewasa untuk tidak salah tingkah lagi di hadapanmu. Berusaha menahan senyum yang lebar dengan tatapan biasa-biasa saja. Lalu kemudian kau menghentikan topik pembicaraan tentang temanmu yang keterima kuliah di luar kota dengan berkata,
"eh, onok titipan..."
("eh, ada titipan...")

"teko sopo, Mas?" kataku canggung
("dari siapa, Mas?")

"teko Ra....."
("dari Ra.....")

       Aku tak bisa menahan tawaku waktu itu. Aku begitu terharu sekaligus tersapu malu. Aku begitu kaget. Sekaligus senang. R...... itu namamu, Mas. Mengapa tidak kau katakan saja secara langsung jika titipan itu darimu? Terselip rasa terima kasih yang lebih dari terima kasih. Aku bingung menjelaskannya. Bukan karena hadiahnya, bukan karena rencana memberikannya, tapi karena itu pemberian darimu, Mas.

       Aku senang, senang sekali. Sayang aku bukan tipe perempuan yang ekspresif saat kejadian. Kalau tidak, aku pasti sudah loncat-lancat di tempat waktu kamu kasih itu ke aku. Jangan bilang aku berlebihan, tapi aku senang sekali dengan yang namanya hadiah. Apapun bentuknya. Aku senang karena di tengah-tengah orang tua yang melupakan hari ulang tahunku, masih ada Mas yang peduli padaku...dan memberiku hadiah meskipun tak tepat pada hari ulang tahunku.



       Hadiah yang terbungkus kertas kado berwarna biru dengan gambar motif lingkaran.
Kau menyodorkannya padaku. Sejenak aku masih tak bisa bergerak, lalu aku menerimanya. Padahal aku tak meminta ini darimu, Mas. Sungguh, aku tak mungkin berani berharap kalau kau memberiku hadiah. Tapi mungkin, sesuatu yang tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi. Aku tak tahu, Mas. Ya, saat itu aku sangat senang. Tapi...melihat kenyataan bahwa kau akan menjamah dunia mahasiswa.... Perlahan aku mulai bersedih hati. Karena sebentar lagi aku tak akan bertemu denganmu lagi. Kau akan sibuk dengan skripsimu, dengan dunia barumu. Tapi segera mungkin kutempis semua rasa itu dengan kegembiraan. Aku bahagia karena Mas sudah lulus dan kuliah di jurusan yang Mas inginkan. Karena Mas akan mengejar cita-cita yang mulia. Kelak kau akan menunjukkan pengabdianmu pada bangsa, negara, dan masyarakat. Aku bahagia sekali, Mas...sungguh.

"Mas.. Kok repot-repot sih. Padahal aku gak minta. Suwun lho, Mas."

"Lha lapo? Gakpopo lah. Karepku dewe kok iku. Suwun pisan yo jakete. Jakete tak gawe kok. Enak, adem..."
("Loh kenapa? Tidak apa-apa lah. Keinginanku sendiri kok itu. Terima kasih juga ya jaketnya. Jaketnya tak pakai kok. Enak, dingin...")

       Aku tak bisa menahan senyum melihat senyummu setelah mengucapkan kata "Adem...". Seketika baumu yang wangi menebar pada indra penciumanku. Aku tak akan bisa melupakan aroma ini. Begitu segar, pikirku. Aku mencoba memecah suasana,

"opo iki isine, Mas? Hahaha.."
("apa ini isinya, Mas? Hahaha..")

"Lho, yo dibukak rek. Tapi ojo dibuka nang kene, nang omah ae..."
("Lho, ya dibuka lah. Tapi jangan dibuka di sini, di rumah saja...")

       Lalu tiba Astrid, teman sekelasku. Ternyata dia mencariku yang tiba-tiba hilang saat usaiku sholat. Aku berdiri dan hendak pamit. Tiba-tiba, mbak Eny, penjaga UKS memotong,

"Gak perlu keresek ta?" Aku tersenyum, hampir tertawa.

"Tidak, Mbak. Terima kasih. Tak sembunyikan aja..." sahutku sambil menyembunyikan hadiah berwarna biru itu di balik kerudungku yang tak tembus pandang.

"Aku tak balik sek yo, Mbak, Mas. Oh iyo, Mas. Makasih yo." Aku keluar dari ruangan itu.

       Sepulang sekolah aku membuka hadiah darimu itu, Mas. Aku buka perlahan...dan...jam tangan? Jam tangan yang begitu berkilau. Jika aku tahu kalau Mas memberiku jam tangan yang berkilau ini, mungkin aku akan menghentikanmu saat kau hendak membelinya. Sebenarnya aku bukan tipe wanita yang mengagumi sesuatu yang berkilauan. Tetapi aku lebih menjunjung tinggi untuk menghargai perasaan orang lain ketimbang memikirkan egoku. Ya, apapun hadiah yang kau berikan, aku suka, sangat suka. Asal itu kemauanmu sendiri. Mungkin jaket pemberianku tak sebanding dengan harga jam tangan yang kau berikan, Mas. Aku tak tahu mengapa engkau bisa semanis ini. Walaupun terlalu besar ukuran jamnya, tak masalah, Mas. Aku bisa mengecilkannya nanti dan memakainya esok hari. :)

       Sejak sehari setelah kau memberikan hadiah itu, aku selalu memakai jam tangan pemberianmu pada tangan kiriku, Mas. Aku selalu membiarkan jam itu melingkar erat di tangan kiriku. Sehingga setiap aku memalingkan pandangan untuk melihat waktu, aku selalu ingat akan sosokmu. Aku tak akan pernah melupakanmu, Mas.
Aku meraih buku diaryku dan menuliskan bait-bait puisi untukmu. Memang tidaklah mengandung diksi-diksi indah layaknya siraman cahaya langit jingga. Aku bukan penyair, Mas. Tetapi setidaknya, aku bisa mewakili perasaanku saat itu dengan menulis.



Surabaya, 28 Mei 2014


Mas R......, jika namamu yang
tertulis di Lauhul Mahfudz untuk diriku,
niscaya rasa cinta itu akan Allah tanamkan dalam diriku,
dan tidak akan hilang tanpa seijin-Nya.
Tugasku bukan menjaga dirimu,
kamulah yang harus menjaga diri dan hatimu.
Begitupun aku.
Selain tugasku adalah mensholehah-kan diriku.
Kau adalah orang yang sungguh baik
Aku percaya kau sedang lebih memperbaiki dirimu,
memantaskan dirimu untuk menjadi imam bagi
tulang rusukmu dan buah hatimu kelak.
Jika orang itu bukanlah aku,
aku tidak punya alasan untuk menahanmu.
Aku tidak memiliki wewenang, Mas
Jalan menuju cita-citamu masih panjang
Gapailah impianmu setinggi langit, Mas
Sehingga apabila kau jatuh,
kau akan jatuh di antara bintang-bintang
Aku akan menyimpan hadiahmu ini dengan baik, Mas
Rinduku padamu akan kusatukan dengan deburan ombak di pantai
Sambil mengenangmu saat senja telah datang di sanubari
Aku tak akan pernah melupakanmu, Mas
Mas sukses ya di sana
Doaku selalu menyertaimu
Inni uhibbuka fillah...


TTD
-Annisa Miftkhul Janna-



       Bayangan kelas XII terpampang, akan datang di hadapanku. Mas, kau telah wisuda. Tinggal menunggu beberapa minggu saja untuk membuktikan bahwa kau akan benar-benar pergi. Setelah liburan semester nanti, aku akan menggantikanmu menjadi anak kelas XII. Tidak ada kau lagi. Tidak ada sosok sepertimu lagi. Kini, yang ada hanya bayanganmu saja, Mas... Kini, aku hanya bisa melanjutkan perjalananku sendirian. Menebas rintangan yang akan mendatangiku. Aku akan merindukanmu, Mas. Aku tak tahu apakah aku akan bertemu dengamu lagi dan saling bicara dan menatap matamu dalam-dalam. Mungkin, tapi nanti.


Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..