Sabtu, 26 April 2014

Tentang Kesendirian


۩۞۩ سْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ۩۞۩

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang."



Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh..


       Semua orang terlihat biasa.
Aku berjalan dengan penuh ketenangan. Menyebrangi jembatan layang penyebrangan. Anak tangga demi anak tangga aku naiki. Anak tangga demi anak tangga aku turuni. Setelah terlepas dari pemandangan di atas jembatan penyebrangan, sesekali aku berjalan dengan memandangi langit nan biru....sesekali lagi aku memandang, langit nan biru telah berubah menjadi abu-abu. Langit akan dihiasi dengan rintikan air hujan. Bumi akan dibasahi oleh cucurannya.

      Aku mempercepat langkahku. Tetapi tetap dengan memandangi langit abu-abu itu. Berjalan menuju tempat yang banyak jendela dunianya. Aku berjalan dari toko buku menuju ke perpustakaan kota. Perpustakaan yang berada di sebelah Balai Pemuda kota Surabaya. Padahal aku baru saja membeli buku untuk kubaca...tetapi entah angan apa yang membawaku ke perpusda. Aku hanya tak ingin cepat-cepat pulang ke rumah.

       Aku beruntung. Aku beruntung karena aku berjalan tepat waktu sebelum hujan turun. Aku menebar pandanganku ke luar jendela...
Hujan
Hujan
Hujan
dan hujan..
Air menetes turun ke bumi pertiwi dengan derasnya. Suasana tersebut membawa aku pada perasaan yang membiru beku.

       Aku berhenti memalingkan pandangan ke luar jendela. Aku berjalan memasuki perpustakaan itu. Seperti biasa...
Sepi
Sepi
Sepi
Padahal ini hari Sabtu. Kukira, hari Jumat lebih banyak menarik pengunjung daripada hari Sabtu. Aku berjalan menuju seorang wanita yang menyuguhkan bolpointnya padaku. Menuntunku untuk menandatangani buku hadirnya. Setelah itu aku berlalu dan mencari tempat untuk ku berdiam diri. Untuk membaca tanpa terganggu.

       Seperti biasa, aku selalu sendiri. Kemana-mana sendiri. Ke perpustakaan seorang diri, makan di luar seorang diri, ke toko buku seorang diri, bahkan nonton seorang diri. Entah mengapa bila sendiri, aku lebih menikmati apa yang sedang aku kerjakan. Setiap orang punya alasan untuk menikmati kesendiriannya seorang diri.

       Aku berjalan menuju tempat rak buku. Mencari buku yang ingin kubaca. Mungkin untuk weekend seperti ini, aku lebih memilih untuk membaca novel/komik. Setelah mendapat novel yang kuinginkan, aku berjalan ke tempat duduk yang di depannya terdapat meja untuk membaca. Membaca dengan pikiran tenang tanpa ada siapapun yang sedang menggangguku.

       Di sinilah aku berada.

Sendirian. Novel. Tempat baca yang nyaman. Alunan musik yang mengalun pada handphone memainkan Serpihan Hati-nya Utopia.

       Aku mulai membaca novel yang berjudul "Menyentuh Bayangan" yang ditulis oleh Itut Wahidin sambil melihat orang di sekeliling.
Mereka semua terlihat begitu biasa.
Di depan tempat dudukku ada orang bule lagi membuka laptopnya, untuk beberapa saat dia terlihat seperti orang yang sibuk akan skripsinya. Di belakangku ada orang yang sedang memakai baju kotak-kotak. Pada tempat duduk tanpa ada mejanya, ada dua orang yang sedang berbagi kasih dengan kekasihnya. Pada ruang baca lesehan, terdapat suami istri dengan anak-anaknya yang terlihat asyik sekali.
Mereka semua terlihat biasa.
Padahal, siapa tahu bule tadi baru mendapat kabar bahwa neneknya meninggal. Si orang yang memakai baju kotak-kotak itu telah putus cinta. Siapa tahu, orang yang tengah asyik berbagi kasih itu baru saja berantem. Dan suami-istri itu mungkin saja ada orang ketiga. Tapi bagi orang yang melihat mereka dari luar, mereka terlihat biasa.
Biasa saja.

       Pastinya aku juga terlihat biasa saja di mata mereka. Padahal, mereka tidak tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Rumah, orang tua, saudara, teman, cinta.... Beban pikiran yang selalu melintas sesekali saat aku membalikkan lembar demi lembar halaman novel itu. Di dalam bentuk tubuh yang biasa-biasa ini, aku sedang remuk rendam hancur minah, compang camping... Tapi bagi orang yang sedang melihatku, aku terlihat biasa. Karena apapun masalah kita, serumit, dan sekompleks apapun, orang lain akan tetap jalan dengan hidupnya, tanpa ingin ikut terlibat dalam kesedihan orang lain. Life goes on.

       Memang menyakitkan, sebagaimana besarnya masalah kita, orang-orang lain akan tetap berjalan maju. Tidak ada yang memahami. Walaupun ketika kita cerita sedikit mereka pasti akan bilang "aku tahu rasanya". Tapi mereka tidak benar-benar tahu. Karena mereka tidak dalam posisi kita. Karena bagi orang yang dicurhati, secara tidak langsung sebenarnya mereka tidak ingin terlibat dalam permasalahan. Mereka tinggal ambil gampang dengan berucap "aku tahu rasanya" atau "sabar ya" karena memang tidak ingin mengikutkan dirinya untuk memikirkan cara penyelesaian masalah.

       Orang-orang lain akan tetap memperlakukan kita seperti orang biasa. Tanpa tahu apa yang kita jalani. Tanpa tahu apa yang sedang kita alami. Sebesar apapun badai yang ada di hati kita saat ini, the world will keep on moving, and I'll keep on standing. Aku belajar dari semua itu, aku tidak harus tahu orang sedang butuh aku atau tidak, saat kusedih tiada seorangpun yang datang....tapi bagiku, yang terpenting adalah...aku selalu ada untuk mereka.

       Aku masih duduk dengan membaca novel itu. Lama-lama aku resapi...
Mengapa aku merasa aku masuk dalam cerita novel itu. Novel yang mengisahkan seorang wanita yang mencintai seorang pria yang 'ternyata' sangat mencintai wanita itu. Dalam cerita ini, si pria tetap menikmati rasa cinta itu, walau jarang melihat bahkan tidak pernah menyentuh wanita itu sedikitpun. Wanita tersebut diliputi kesedihan yang mendalam karena ia tak pernah bertemu dengan pria itu lagi. Keduanya saling menyembunyikan rasa cinta....dalam bisu. Hingga suatu hari pria itu datang lagi.....tetapi sudah beristri. Kepedihan wanita itu bagai kalang-kabut berkabut-kabut. Seseorang yang ia tunggu bertahun-tahun..... Tetapi apa kau tahu kebenarannya? Kebenaran datang bahwa si pria tetap menjaga rasa cintanya pada wanita ini (bukan istrinya).

       Aku mulai berpikir dan berpikir..
Apakah orang yang kucinta justru malah lebih mencintaiku?
Apakah kisah cintaku yang rumit ini akan berujung pada kepergian yang menyesakkan dada?
Apakah akan ada ucapan selamat tinggal perpisahan yang terakhir kali?
Apakah aku akan menunggu meski nanti ia akan lebih memilih orang lain untuk mendampinginya di sisa umurnya?
Entahlah...
Apapun itu, mungkin akhirnya yang dibutuhkan adalah 'keikhlasan'. Karena setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mencintai, walaupun tanpa membaginya dengan orang yang dia cinta. JazakAllahu khayr. Allah knows best.
Aku takut untuk menduga-duga.

       Sebentar lagi kau akan benar-benar pergi dari hidupku. Bertemu denganmu saja hanya saat ku berada di sekolah, itupun jika bertemu. Mungkin setelah kau benar-benar pergi dari sini, dari sekolah ini.....aku tidak akan pernah bisa melihatmu lagi. Di sini, di tempat ini, di sekolah ini. Akhir-akhir ini kau juga jarang mampir pada dunia maya-mu.
Tiada kabar.
Entah malam ini kau sedang sakit, kehujanan, kedinginan, kelaparan, memikirkan hasil UN-mu, memikirkan sesuatu yang memberatkan pikiranmu, atau entah kau sedang merindukan seseorang di luar sana. Bila ku terus memikirkan ini, pusing hebat melanda kepalaku.
Terasa gelap.
Begitu gelap.
Meski kata Plato, yang namanya 'gelap' itu tidak ada...yang ada itu kekurangan cahaya. Seperti perasaanku saat ini. Seandainya bulan jaraknya lebih dekat dengan bumi, mungkin dunia akan terasa lebih terang saat malam datang.
Masalahnya pada jarak.
Jarak
Jarak
Jarak
Jarak
Jarak
Aku mengulang kata jarak sampai kata tersebut sudah tiada artinya lagi. Atau mungkin, waktu yang lama itu telah membuat kita tak lagi melihat bulan yang sama.

       Naksir diam-diam itu bagaikan naik komedi putar. Seakan berjalan, tapi sebenarnya tidak kemana-mana. Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima. Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang diinginkan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang biasa mereka lakukan, jatuh cinta sendirian. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya butuhkan.
Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan.

       Aku tak mengerti sama sekali jalan pikiranmu. Entah mengapa terasa sulit saat kumembaca pikiranmu. Pikiran yang entah mengapa tak akan pernah bisa kubaca. Tapi aku beruntung karena aku tak dapat membaca pikiranmu. Pikiran orang yang serba misterius sepertimu. Aku sadar, ternyata ada batasan kemampuan untuk membaca pikiran orang. Pikiranmu. Entah mengapa tidak terlintas apapun.

       Pikiran adalah tempat paling pribadi seseorang. Tidak ada yang suka jika tempat pribadinya bisa dilihat orang lain. Jika boleh memilih, aku lebih memilih untuk hidup normal seperti orang biasa....daripada menjadi orang dengan kemampuan aneh walau dinilai luar biasa. Tetapi aku merasa senang, karena masih saja ada orang yang pikirannya tak dapat kubaca. Karena apa, bila kau tahu? Terasa menyakitkan bila seorang teman yang selalu baik di depanmu....diam-diam menyimpan pikiran yang buruk terhadapmu. Mengetahui apa yang dipikirkan orang lain yang terlihat biasa saja terhadapmu sangatlah buruk.
Apalagi tentang pikiran yang buruk-buruk.

       Oleh karena itu, aku lebih suka menyendiri. Menyendiri dari kerumuman orang-orang di luar sana.
Apa yang salah dengan sendiri?
Banyak orang dalam sebuah perkumpulan teman jadi bulanan-bulanan dibully karena sering sendiri. Di depan, mungkin dia baik-baik saja. Tapi apa kamu bisa memastikan kalau setiap malam sebelum dia tidur, dia nggak memikirkan dan merenungkan?

       Apa yang salah dengan sendiri? Sendiri itu hak. Prioritas.
Sekali lagi, setiap orang tentu punya alasan untuk melakukan semua aktivitasnya sendirian.
Intinya adalah, apa pun yang jadi alasan orang untuk betah sendiri, pasti ada satu waktu dalam hidupnya ketika dia dilanda kesepian.

       Otak manusia itu seperti elektron tidak stabil, nggak pernah berhenti bergerak dan sensitif bisa 'mental' ke mana saja. Mental untuk memikirkan kesendirian yang sedang ternikmati seorang diri.

       Orang bijak tak pernah mengisi atau menyiksa diri dengan pikiran-pikiran negatif. Supaya otaknya selalu berjalan ke arah yang positif. Jika sudah tau yang dipikirkan orang lain itu negatif, masihkah mampu untuk berpikir positif tentang dirinya yang terpandang negatif di pikiran orang lain?

       Setiap orang punya caranya sendiri agar tak merasa kesepian. Salah satunya dengan menyibukkan diri. Meski dengan sesimpel pekerjaan yaitu 'membaca buku'. Memilih untuk lebih menyibukkan diri dan tidak memperdulikan apa yang orang lain pikirkan tentangku. Karena semua hal yang aku pikirkan untuk merubah diri agar tak dipandang orang lain negatif hanyalah 'buang-buang waktu'.
Pada akhirnya aku lebih memilih untuk menjadi diriku sendiri.
Inilah aku, apa adanya.
Aku tetaplah aku.
Tetaplah seperti dulu.
Tanpa perubahan.
Mungkin bila mereka menilai aku telah berubah, mereka salah besar.
Aku tak berubah sedikitpun, lebih tepatnya aku telah berhenti menjalani hidupku dengan cara 'mereka'. Lama-kelamaan akupun terbiasa menjadi sosok 'negatif' di pikiran orang lain. Mereka bukan aku, mereka tidak tahu apa yang kurasakan ketika mengetahui setiap pemikiran mereka padaku, mereka tidak sedang dalam posisiku, dan yang terpenting...mereka bukan aku. Mereka tidak tahu siapa aku. Apa yang kupikirkan tak sama atau berbanding terbalik dengan apa yang mereka sedang pikirkan.
Pemikiran setiap orang berbeda-beda, bukan?

       Aku belajar banyak tentang semua itu. Memang benar bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian; ketidakpastian pemikiran, ketidakpastian sikap, ketidakpastian komitmen, ketidakpastian ketulusan teman, atau ketidakpastian lainnya....tetapi berpindahlah pada suatu hal yang pasti (pasti membuatmu lebih baik dari sebelumnya). Kalau pindah diidentikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya..... Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan yang lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan. Aku jadi berpikir, ternyata untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik, aku tak perlu menjadi manusia super. Aku belajar banyak dari point penting dalam novel Manusia Setengah Salmon-nya Raditya Dika.
Aku hanya perlu menjadi manusia setengah salmon: berani pindah.

Wasalam..

Annisa MJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar