Kamis, 27 Agustus 2020

Melangkah Seperti Jarum Detik

 


Bismillahirrahmanirrahim.

       Langit malam selalu begitu indah. Lembut ayunan angin mampu menerpa tanda tanya besar yang selalu melintas. Lembut senyum rembulan mampu mengusik jiwa yang pontang-panting mencari celah bahagia dalam kehidupan. Sesekali bintang muncul dalam selimut awan kelabu dan mendobrak kegelapan yang diciptakan malam.

       Namun.. Alhamdulillah... Aku bersyukur masih bisa menikmati hidupku malam hari ini. Aku bersyukur pula karena masih dapat berpikir jernih. Aku bersyukur karena aku masih sehat. Sinusitis yang mereda membuatku lebih bisa menikmati nafas demi nafas yang kuhirup. Banyak sekali. Terlalu banyak hal yang ingin aku syukuri. Hingga aku ragu untuk memilih mana yang lebih dahulu aku syukuri, nikmat yang diberiNya atau dosa yang ditutupiNya. Aku sadar...semua yang diberi Allah padaku hanyalah sebuah titipan. Kelak semua itu akan kembali pula pada Yang Maha Menitipkan sesuatu.

       Aku beranjak. Mengumpulkan tenaga, pikiran, dan segenap jiwa...agar terciptanya sepenggal kisah ini. Mengumpulkan kata demi kata agar terciptanya tulisan lagi dalam blog ini. Sejenak aku berpikir...sudah banyak hal yang kulalui tanpa sepatah kata kutunjukkan dalam blog ini. Benar. Sudah banyak hal yang kulalui tanpa kutulis dalam blog ini. Kehidupan baru, lembaran baru, dan sepotong hati yang baru. Malam hari ini tetap sama. Aku tetap mencintainya. Entah mengapa hari demi hari kian bertambah pula rasa yang kutitipkan pada Allah untuknya.

       Namun entah mengapa, malam yang datang itu hanya menghadirkan sepi. Mengapa malam tak pernah bertemu dengan mentari pagi? Ia selalu hilang saat mentari pagi muncul. Namun bagaimana dengan sepi yang dihadirkan malam? Apakah sepi juga akan menghilang perlahan mengepakkan sayap-sayap kegelisahannya saat mentari datang?

       Sepotong hati yang baru, aku menyebutnya. Terima kasih, tuan petualangku.. Harus ku akui. Kau yang membuatku sembuh...dari persepsi lamaku. Kesepian mendalam diriku, berbagai persepsi tentang diri yang aneh ini. Aku mendapat suatu pandangan baru. Aku tak tahu, tuan..harus membayar dengan apa. Karena kau menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan, sesuatu yang selama ini kucari.

       Dalam sepi aku belajar untuk mengerti. Mengerti. Sudah seberapa lama aku melangkah. Sudah berapa panjang langkah yang kulalui tiap detiknya. Melangkah untuk sebuah perubahan. Untuk menjadi orang yang diterima dalam masyarakat. Melangkah. Dan melangkah. Tak peduli langkah itu dirasakan orang lain ataupun tidak.

       Sedihnya, sudah beberapa hari ini aku merangkak menuju kesembuhanku. Sedih sekali dalam satu hari harus menelan obat-obatan sebesar biji kurma selama tiga kali. Seperti kesedihan yang kurasakan saat mengingat sebuah mata yang mengisyaratkan kekaguman pada seseorang. Yang bukan aku. Aku selalu memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin tak kau sadari, Tuan. Sentuhan-sentuhan sederhana dan perhatian kecil yang kau tujukan untuk seseorang itu. Aku tahu.

       Ah. Intuisiku mengatakan hal tersebut benar. Mungkin memang sebaiknya aku yang pergi. Sudah memang seharusnya aku berteman dengan sepi. Lagipula, aku adalah seseorang yang tak pantas untuk siapapun. Apalagi kamu. Biar aku yang melangkahkan kaki ini, menuju dunia yang kumiliki. Duniaku. Dunia itu seperti dunia yang kita tinggali, memiliki tanah untuk dipijak, memiliki udara yang digunakan untuk menghirup dan menghela nafas panjang, dan memiliki langit indah untuk digapai. Kau tak akan menemukannya, karena dunia itu hanya untukku seorang. Detik demi detik yang kan berlalu, langkah demi langkah yang membawaku, biarlah aku tetap melangkah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar